Silaturahmi dengan Peserta Kongres Indonesia Millennial Movement Tahun 2018, 12 November 2018, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 12 November 2018
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.122 Kali

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati para menteri Kabinet Kerja,
Yang saya hormati Direktur Maarif Institute Sdr. Muhammad Abdullah Darraz,
Seluruh peserta Indonesia Millennial Movement,
Hadirin dan undangan yang berbahagia.

Saya adalah pengagum Buya Syafii Maarif. Usia beliau sekarang ini kalau tidak salah sudah 83 tahun, tapi tidak pernah kenal lelah. Terus memberikan masukan kepada saya, ada apa, langsung datang ke Istana sampaikan langsung ke saya, kalau tidak lewat telepon. “Presiden, ini hati-hati, karena ini, ini, ini, ini.” Saya tanya, “terus solusinya bagaimana, Buya?” “Ya kira-kira ini, ini, ini, ini.” Itulah yang sering interaksi saya dengan Buya Syafii Maarif. Karena semangatnya, saya pikir Buya ini sudah 83 tahun tapi kayak milenial.

Apalagi kalau beliau ini berbicara masalah persatuan, masalah kerukunan, masalah persaudaraan, masalah ukhuwah, dan bicara mengenai kemajuan Indonesia, memajukan Indonesia. Karena kita sadar tantangan ke depan semakin, bukan semakin ringan tetapi semakin berat. Padahal kondisi negara kita ini memang berbeda-beda. Dengan keterbukaan seperti sekarang yang kita lihat, hampir semua negara mengalami perubahan lanskap ekonomi, lanskap politik, lanskap sosial, semuanya berubah semuanya. Karena keterbukaan.

Indonesia juga sama seperti negara-negara lain, hanya bedanya negara kita ini berbeda-beda, negara kita ini warna-warni, negara kita ini beraneka ragam. Berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda adat, berbeda tradisi. Beda dengan negara-negara lain yang hidup di satu daratan. Kita ini hidup di 17.000 pulau, 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi, tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Ini yang sering kita lupa.

Negara kita ini negara yang sangat besar, 263 juta penduduk kita. Gede banget, dengan perbedaan-perbedaan yang juga sangat mencolok. Ini yang terus akan saya ingatkan di mana-mana, karena kita sering lupa masalah ini. Inilah yang menyebabkan, karena kita lupa, menyebabkan kita ini kadang-kadang merasa tidak saudara. Padahal kita adalah saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air. Dan lebih banyak sebetulnya yang berkaitan dengan intoleransi, terutama ini di negara kita, ini memang lebih banyak didorong oleh peristiwa-peristiwa politik: pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden. Kejadiannya banyak dimulai dari situ.

Ada pilihan bupati, antarkampung tidak saling omong, tidak saling sapa. Karena pilihan wali kota antartetangga tidak saling omong. Karena pilihan gubernur antarumat menjadi ada gesekan. Karena apa? Pengaruh politikus kita yang pintar-pintar mempengaruhi, masyarakat terpengaruh. Termasuk pilpres, pilpres sudah empat tahun yang lalu sampai sekarang masih di bawa-bawa. Coba dilihat di media sosial isinya seperti apa. Ini pengaruh politik yang sering mengadu-adu kita, sehingga muncul intoleransi karena di sini dibentur-benturkan. Ini yang sering saya sampaikan berbahaya sekali.

Contoh satu saja urusan… Ini kalau sudah tembakan itu langsung… Kalau politikus langsung jleg, Presiden Jokowi itu PKI. Ini sudah empat tahun itu berjalan terus. Saya sebenarnya diam saja, apa sih kayak-kayak gitu. Tapi setelah kita survei, kaget juga saya, enam persen lebih masyarakat ini percaya. enam persen itu kan lebih dari sembilan juta. Banyak banget sembilan juta percaya kayak gitu. Kalau tidak saya luruskan berbahaya. Hanya untuk kepentingan politik. PKI itu kan dibubarkan tahun ’65-’66, saya lahir tahun ’61, umur saya baru empat tahun. Yang sering saya sampaikan, masak ada PKI balita, logikanya tidak masuk tapi ada yang percaya. Zaman keterbukaan seperti ini.

Ganti lagi, bukan Presiden Jokowi, orang tuanya, kakek neneknya. Ya ditanyakan saja di dekat masjid di rumah orang tua saya, di dekat masjid di dekat kakek nenek saya, semuanya juga terbuka tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Ya ndak? Di Solo ada Muhammadiyah, ada NU, ada Persis, ada Al-Irsyad, ada LDII, ada FPI, ada MTA, ada semua ormas-ormas itu. Tanyakan saja di situ.

Bahkan kalau gambar, coba dilihat gambar di media sosial, DN Aidit, Ketua PKI pidato tahun 1955 lha kok di dekatnya ada saya? Coba dilihat. Saya lihat-lihat di media sosial, kok ya mirip saya. Ini pekerjaannya siapa, gitu kadang-kadang saya. Saya lahir saja belum sudah di dekatnya podium dia pidato. Ini kan hal-hal yang tidak beretika, tidak beradab, tidak bertata krama. Ini bukan Indonesia, cara-cara seperti ini. Untuk kepentingan politik.

Padahal tantangan ke depan ini betul-betul dengan Revolusi Industri 4.0 ini betul-betul perubahan dunia itu berjalan begitu sangat cepatnya, sangat cepat sekali. Artificial intelligence, internet of things, virtual reality, bitcoin, cryptocurrency. Coba dilihat Elon Musk dengan hyperloop, space-X, tesla. Ini perubahan yang sangat cepat sekali sekarang ini, tidak seperti masa-masa sebelumnya. Bahwa Revolusi Industri 4.0 ini betul-betul sudah masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari, dan nantinya akan mengubah lanskap ekonomi, lanskap politik, lanskap sosial budaya, semuanya.

Kalau kita tidak siap, kalau kita tidak merespons dengan baik perubahan-perubahan ini… Bayangkan membangun rumah dengan 3D printing hanya 24 jam. Bukan akan lho ya, sudah ada. Perubahan-perubahan seperti ini, siapa yang bisa merespons secara cepat perubahan seperti ini? Anak-anak muda. Anak-anak muda, bukan yang lain. Saya ini berusaha mengikuti, baru belajar apa tho ini artificial intelligence, muncul lagi virtual reality, muncul lagi 3D printing, muncul lagi crytocurrency. Anak-anak muda kan biasa cepat, cepat, cepat, kalau saya… Yang kita urusi kan bukan ini saja kan, macam-macam dari A-Z kita urus semuanya.

Empat tahun yang lalu saya masuk ke Silicon Valley, masuk ke markasnya Google, markasnya Facebook, markasnya Twitter, markasnya Plug and Play. Betul-betul perubahan itu betul-betul kelihatan sekali ya di situ. Apa yang namanya teknologi itu betul-betul… Sekarang siapa sih mau tidur pegangannya masih ini? Iya ndak? Semua ngaku ndak? Di manapun, tidak di warung, tidak di resto, semuanya pegangannya, duduk di kursi, di manapun pegangannya gadget, gawai, handphone, smartphone, pegangannya itu semuanya.

Kembali lagi, begitu saya masuk ke markasnya Facebook, saya diajak Mark, CEO-nya, pakai kacamata besar, oculus, diajak main pingpong, main tenis meja, tapi tidak ada mejanya, tidak ada bola pingpongnya, tidak ada betnya. Saya sudah, “apa ini…” Ya sudah, main. Tidak ada apa-apanya main persis 100 persen kayak kita main pingpong. Tang tung tang tung tang tung. Waduh.

Saya tanya kepada Mark, “Mark, ini apakah hanya untuk pingpong, untuk tenis meja?” “Oh tidak Presiden Jokowi, ini bisa dipakai untuk segala hal.” Untuk, misalnya, teknik membangun perumahan, teknik dalam membangun jalan tol, akan kelihatan sebelum barang itu dibangun akan sudah kelihatan dulu apa yang harus dikerjakan, apa yang akan dikerjakan, apa yang harus direncanakan. Kelihatan semuanya. Saya membayangkan ini kalau main bola tidak ada bolanya, tidak ada lapangannya, tendang-tendangan sendiri, dang dung dang dung gina gina, tapi tidak ada bolanya. Coba bayangkan.

Itulah kemajuan teknologi yang sekarang ini cepat sekali dan mengubah, kembali lagi, mengubah lanskap ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hati-hati dengan proses keterbukaan ini. Semua kepala negara juga sama, banyak yang bertanya kepada saya, presiden, perdana menteri, apakah di Indonesia ada perubahan. Ada, saya sampaikan ada. Misalnya PM Lee, lalu Syekh Qatar, kemudian perdana menteri di Eropa, pertanyaannya sama. Dan saya sampaikan iya, ada perubahan itu.

Inilah yang terus harus kita waspadai, jangan sampai perubahan-perubahan ini membawa kita ke dalam intoleransi, ke dalam ekstremisme yang sangat berlebihan, yang itu juga di negara lain sekarang ini ada dan proses-proses itu kelihatan di atas permukaan.

Saya harapkan dengan adanya pertemuan-pertemuan seperti yang diadakan oleh Maarif Institute, kita harapkan kita semuanya bergerak bersama-sama untuk membawa negara ini ke dalam sebuah kemajuan, tetapi dengan cara-cara yang sejuk, cara-cara yang baik. Dan selalu saya sampaikan marilah kita hijrah dari ujaran-ujaran kebencian kepada ujaran-ujaran kebenaran. Hijrah dari pesimisme ke optimisme. Hijrah dari pola-pola yang konsumtif ke pola-pola yang produktif. Hijrah dari kegaduhan-kegaduhan ke persatuan dan kerukunan. Karena itulah yang dibutuhkan.

Dan  saya meyakini insyaallah dengan pergerakan kita seperti sekarang ini, dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari lima persen, dari hitung-hitungan Bappenas, hitung-hitungan McKinsey, hitung-hitungan Bank Dunia, negara kita Indonesia ini akan menjadi empat besar ekonomi terkuat di dunia insyaallah di tahun ’40-’45, 2040-2045. Artinya, Saudara-saudaralah yang nanti menikmati, karena Saudara-saudaralah nanti yang akan memimpin negara ini di 2040-2045. Sudah umur berapa? Pas berarti, pas matang-matangnya. Itu negara kita sudah menjadi negara nomor empat ekonomi terkuat di dunia.

Tetapi proses menuju ke sana itu tidak gampang, tidak ringan, penuh hambatan, penuh tantangan, sekali lagi, karena negara ini negara besar. Oleh sebab itu, fondasi-fondasi menuju ke sana harus kita perkuat. Infrastruktur, yang menjadi fondasi ini harus diperkuat. Tahapan besar yang kedua, pembangunan sumber daya manusia harus fokus dan juga harus menjadi perhatian kita. Tanpa itu, jangan bermimpi kita bisa bersaing, kita bisa berkompetisi dengan negara-negara lain.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat menghargai pertemuan ini. Dan dengan mengucap bismillahirahmanirrahim saya resmi membuka Indonesia Millennial Movement 2018.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru