Soal Dolar AS, Persepsi, dan Lindung Nilai
Oleh: Henny Galla Pradana, S.H., M.M.*)
Menuju akhir kuartal ketiga tahun 2018 ini, hembusan isu dalam pasar valuta asing (valas) semakin kencang. Hal ini mengingat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) cenderung menunjukkan tren penekanan dari greenback terhadap mata uang tanah air tersebut.
Sebetulnya, kondisi ini sudah diprediksi jauh-jauh hari. Salah satunya dampak dari tapering off quantitative easing (QE), di samping ada juga efek perang dagang AS dengan Tiongkok, serta sentimen atas krisis di Turki dan Argentina.
Sinyal berakhirnya masa stimulus ekonomi Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah QE tersebut telah didengungkan oleh Janet Yellen, Gubernur The Federal Reserve (The Fed) atau Bank Sentral Amerika Serikat. Sebelum akhirnya digantikan oleh Jerome Powell di masa pemerintahan Presiden Trump, The Fed di bawah kepemimpinan Yellen paling tidak sudah lima kali menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate). Gubernur Bank Indonesia saat ini, Perry Warjiyo, memproyeksi tahun ini The Fed akan empat kali menaikkan suku bunganya.
Apa dampak kenaikan suku bunga AS tersebut? Dana asing di pasar finansial Indonesia diproyeksi berbondong-bondong menguap menuju negeri yang menawarkan keuntungan lebih tinggi: Amerika Serikat. Hanya dengan kenaikan bunga AS 25 basis poin saja, bagi investor asing-yang tidak selalu setia dengan hanya menanam uangnya pada satu negara saja-tentunya sangat jauh menguntungkan.
Dikutip dari Koran Jakarta, pada semester pertama 2018, dana asing yang hengkang dari pasar modal Taiwan mencapai USD 2,7 miliar atau mencapai Rp 37,8 triliun dengan kurs Rp 14 ribu per USD. Sementara di Thailand dan Korea Selatan masing-masing lebih dari USD 1 miliar dana investor asing pergi. Di Indonesia sendiri, dana asing yang keluar dari pasar modal mencapai Rp 50 triliun.
Secara teknis, kaburnya dana asing membuat suplai Dolar AS di pasar valas menipis. Sementara tingginya permintaan Dolar AS untuk memenuhi kepentingan pembayaran barang dengan denominasi tersebut, memicu mata uang Benjamin Franklin dihargai sangat mahal.
Menghadapi kondisi dilema nilai tukar tersebut, Pemerintah dan otoritas moneter pun melakukan banyak terobosan kebijakan. Contohnya mulai dari pengetatan impor produk, mendorong konsumsi produk buatan negeri sendiri, hingga kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral. Di luar kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan pula melakukan hedging atau lindung nilai dalam pengelolaan pembiayaan perjalanan dinas luar negeri yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga (K/L).
Persepsi, informasi, dan Spekulasi
Dengan kondisi teknis yang sesungguhnya sangat bisa dijelaskan tersebut, bukan hal yang mudah bagi Pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa bauran kebijakan di bidang moneter dan fiskal akan mampu, setidaknya, membuat pergerakan rupiah terhadap valas cenderung smooth, tidak radikal.
Apalagi, saat ini masyarakat sangat mudah mengakses informasi dari berbagai media digital. Meminjam istilah Bill Kovach tentang banjirnya informasi, tanpa telaah lebih lanjut tentang angle atau sudut pandang media, tentunya akan membuat penafsiran kondisi pergerakan nilai tukar semakin bias.
Sudah hal umum bahwa investor di pasar adalah subyek yang sarat persepsi dan ekspektasi: mereka banyak bertahan karena meyakini kondisi fundamental Indonesia yang prospektif.
Namun, apabila informasi telah ”digoreng bak saham”, maka muncul persepsi negatif yang tak bisa dibendung. Misalnya, banyak informasi yang mencatut data-data pasar yang tidak jelas sumbernya. Informasi nilai tukar rupiah justru tidak diambil dari sumber valid seperti kurs referensi JISDOR atau Jakarta Interbank Spot Dolar AS Rate-Bank Indonesia, Reuters, atau Bloomberg. Padahal di satu sisi perlu dipahami bahwa dalam pergerakan perdagangan terdapat nilai support (terendah), resistance (tertinggi), atau bahkan nilai pembukaan dan penutupan perdagangan.
Kondisi tersebut yang justru menimbulkan besarnya itikad spekulasi dari para spekulan yang memiliki basis valas yang tebal: menumpuk Dolar AS hingga mencapai titik tertinggi. Tentu hal tersebut tak ada yang menginginkan. Sudah saatnya masyarakat yang menggenggam valas untuk merilisnya kembali ke pasar. Paling tidak menjadi ikhtiar memperkuat suplai valas di pasar.
Lindung Nilai oleh Pemerintah
Hedging atau lindung nilai valas khususnya Dolar AS, sudah banyak dikenal praktiknya di lingkaran bisnis. Upaya ini untuk memitigasi risiko fluktuasi nilai tukar. Pencegahan pembelian valas di pasar spot dinilai cukup memacu stabilitas nilai tukar.
Pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Keuangan, sebetulnya sudah mempertimbangkan penggunaan hedging, khususnya untuk utang pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36 Tahun 2017 tentang Transaksi Lindung Nilai dalam Pengelolaan utang Pemerintah.
Dari sudut pandang ini, bisa menjadi pertimbangan pula agar Pemerintah mulai memetakan risiko penggunaan mata uang asing dalam pengelolaan dana APBN. Contohnya terkait perjalanan dinas ke luar negeri Pemerintah yang tentu pembiayaannya tidak sedikit.
Sesuai praktik, perhitungan biaya perjalanan dinas ke luar negeri menggunakan konversi nilai valas terhadap rupiah dengan acuan JISDOR, namun secara tidak langsung tetap memicu pencarian valas di pasar spot. Hal ini dikarenakan rupiah akan dikonversi kembali menjadi valas. Sebagaimana diketahui, besarnya permintaan valas di pasar spot dapat memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah, mengingat pasar valas di Indonesia yang shallow.
Dalam jangka pendek mungkin Pemerintah bisa saja membuat aturan pembatasan perjalanan dinas luar negeri. Namun untuk jangka panjang, akan lebih efektif apabila dibuat pengaturan soal hedging dalam rangka pengelolaan pembiayaan perjalanan dinas luar negeri yang diimplementasikan pada K/L.
Upaya hedging terhadap pembiayaan perjalanan dinas luar negeri tersebut bisa dimulai dengan memaksimalkan mekanisme perencanaan porsi perjalanan dinas luar negeri, minimal di tataran K/L setiap tahunnya. Dari perkiraan jumlah perjalanan dinas luar negeri tersebut, bisa diproyeksi kebutuhan lindung nilai terhadap valas yang akan dibeli. Nantinya, pembelian valas oleh Pemerintah terkait perjalanan dinas bisa terpusat di Bank Indonesia, lembaga perbankan, atau lembaga keuangan dengan rating yang baik yang sudah bekerja sama lindung nilai dengan Pemerintah.
Selain menghindari risiko spekulasi, risiko fluktuasi nilai tukar bisa dimitigasi dalam kegiatan perjalanan dinas. Hal ini juga bisa diilhami sebagai upaya mengelola APBN dengan lebih baik.
*) Staf di Sekretariat Kabinet, pernah menempuh studi Magister Strategic Finance, Universitas Paramadina. Email: gallahenny@gmail.com. (Tulisan adalah pendapat pribadi. Tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja)