Soal Moratorium Kelapa Sawit dan Pertambangan, Presiden Jokowi: Dilarang Minta Konsesi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, moratorium kelapa sawit dan pertambangan yang disampaikannya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dimaksudkan dilarang menanam, tapi artinya itu tidak boleh minta konsesi lagi.
Tidak boleh minta konsesi lagi. Artinya tidak boleh minta konsesi lagi yang dipakai untuk kelapa sawit, kata Presiden Jokowi kepada wartawan usai mencanangkan Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar, di Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Kamis (14/4) pagi.
Adapun mengenai moratorium pertambangan, menurut Presiden Jokowi, dimaksudkan untuk dipersiapkan juga hal-hal yang berkaitan dengan pertambangan. Jangan sampai konsesi pertambangan menabrak hutan konservasi.
Sudahlah, nggak ada seperti itu, nggak ada. Betul-betul memang di situ memang tata ruangnya buat tambang, sudah. Kalau ndak ya nggak usah, pesan Kepala Negara.
Menurut Presiden Jokowi, untuk moratorium gambut kita sudah punya Badan Restorasi Gambut, yang saat ini sudah bergerak untuk memperbaiki, merestorasi gambut dalam jumlah yang sangat besar, dan juga memerlukan sebuah anggaran dan pendanaan yang besar.
Adapun masalah kelapa sawit, lanjut Presiden, minyak sawit sebetulnya sekarang dari lahan yang sudah ada. Jika bibitnya itu betul, Presiden meyakini mungkin produksi bisa lipat 2 (dua) kali.
Karena peremajaan terlambat, pemilihan bibit juga tidak dilakukan, terutama dilakukan oleh pemilik petani ini, kalau ini dilakukan tentu akan naik, papar Pesiden Jokowi.
Pemotongan APBN
Sementara itu menyinggung efisiensi 20% APBN untuk listrik dan subsidi BBM, Presiden mengatakan, yang listrik itu bukan dipotong, namun karena dari PLN ada efisiensi sehingga subsidinya dikembalikan. Kalau dikembalikan kan kita pakai, nanti dalam APBN-P kita tentukan, ujarnya.
Yang jelas, lanjut Presiden, kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L) ia telah meminta agar dalam APBN-P itu dipotong Rp50 triliun belanja-belanja operasional, belanja seminar, rapat-rapat yang tidak perlu, dan pembelian mobil dinas yang tidak perlu. (RAH/ES)