Stop Subsidi BBM Dan Impor Beras, Presiden Jokowi Siap Tidak Populer

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 18 April 2015
Kategori: Berita
Dibaca: 46.860 Kali
Presiden Jokowi saat menghadiri peringatan Harlah PMII, di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat (17/4) malam

Presiden Jokowi saat menghadiri peringatan Harlah PMII, di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat (17/4) malam

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, akan mempertahankan kebijakan ekonominya terkait pengalihan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), penghentian ekspor bahan mentah (raw material) tambang, termasuk juga dalam hal impor bahan pangan seperti beras, jagung, dan kedelai.

Presiden Jokowi mengakui diperluka perubahan pola pikir yang total dalam memahami kebijakan ekonomi yang kini diambil pemerintah. Tidak mungkin hanya langsung merubah, kemudian semuanya (masyarakat) bisa menerima. Namun demikian, Presiden Jokowi menegaskan ia siap dengan resiko tidak popular atas kebijakan yang diambilnya itu.

“Saya tahu dan saya sudah diingatkan oleh tangan kiri kita. Bapak kalau ini nanti dialihkan, pengalihan subdisi dari yang konsumtif dipakai kendaraan tiap hari kemudian dialihkan kepada sektor produktif, pertanian, perikanan, infrastruktur, hati-hati. Bapak bisa jatuh popularitasnya. Saya sampaikan, itu resiko sebuah keputusan,” tegas Jokowi saat berbicara pada peringatan Hari Lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), di Masjid Nasional Al Akbar, Surabaya, Jumat (17/4) malam.

Menurut Kepala Negara, ia sengaja fokus membenahi masalah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan global, termasuk pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015 ini, karena apapun ke depan pertarungannya kualitas sumber daya manusia. Pertarungannya ada disitu. Bukan masalah kekuatan sumber daya alam, tetapi ada di SDM, sumber daya manusia.

Tidak Bisa Gunakan ‘Booming’ SDA

Lebih lanjut Presiden Jokowi mengemukakan, meskipun dikaruniai sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah, kita tidak bisa menggunakan itu. Ia menunjuk contoh saat booming minyak  pada tahun 1970a, kita tidak bisa membuat sebuah pondasi pembangunan yang baik. Demikian pula, pada tahun 1980an kita booming kayu, tebang, tebang, tebang. Kita lupa tidak membangun industri hilirnya. Lupa lagi tidak bisa membuat pondasi untuk pembangunan, untuk kesejahteraan rakyat kita.

Hal yang sama, lanjut Jokowi, kembali dilakuka Indonesia terkait ekspor raw material batubara.

Diekspor ke negara lain, mereka membangun industri dengan batubara kita, produknya masuk ke Indonesia. Selajutnya, kita membeli produk produk mereka.

“Itu sebuah kesalahan. Kenapa tidak kita kunci, kita miliki. Kalau kamu mau buat industri, buat di Indonesia. Batubara banyak di sini. Sehingga akan ada keuntungan pajak, tenaga kerja, nilai tambah yang lain lain, akan banyak sekali. Inilah yang akan kita lakukan,” papar Jokowi.

Untuk itulah, papar Jokowi, pemerintah akan mulai stop satu per satu. Tidak hanya masalah batubara, tidak hanya nikel, tidak hanya masalah bauksit, tidak hanya masalah timah. “Ini harus kita olah, hilirisasinya ada di Indonesia. Kita sudah tidak mau lagi kita kirim mentahan. Diolah disana, kembali ke sini kita beli,” tegasnya.

Dengan diolah disini, Presiden Jokowi meyakini akan membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya. “Itulah yang kita inginkan,” ujarnya.

Diakui Kepala Negara, untuk menuju ke sana, transisinya memang memerlukan perubahan pola pikir yang total. Tidak mungkin kita hanya langsung merubah cepat kemudian semuanya bisa menerima.

Jokowi lantas menunjuk contoh soal impor beras yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Menurut Presiden, emarin waktu Desember – Januari sudah ada usul lagi kepadanya agar mengimpor beras dengan alasan stok kita sudah berbahaya.

“Saya cek memang tinggal sedikit. Tetapi setelah saya hitung, ini sampai berani sampai panen raya. Tetapi dengan keputusan seperti itu yang terjadi adalah spekulasi. Harga beras menjadi naik. Ini memang sebuah resiko yang harus saya ambil,” papar Jokowi.

Diakui Presiden Jokowi kalau keputusanya itu memang tidak popular. Tetapi ia menganggap harus berani merubah itu, karena kalau kita masih impor 3,5 juta ton per tahun, maka petani-petani  kita tidak akan mau berproduksi.

“Untuk apa, impor aja lebih murah. Tetapi orang berproduksi menjadi marah. Ngapain kita berproduksi. Inilah sering saya sulit menjelaskan. Tetapi ini memang harus ini dijelaskan secara gambling,” kata Jokowi.

Diakui Kepala Negara, menahan-nahan seperti itu ada resikonya. Kalau kita tidak impor berarti harganya akan naik,  tetapi kalau kita impor dari dulu sampai sekarang kita akan seperti itu terus. Impor terus dan petani menjadi tidak rajin untuk berproduksi.

Demikian juga dengan jagung, berapa juta ton kita impor. “Inilah yang terus kita tahan. Gula juga sama, kedelai juga sama. Inilah yang ingin kita benahi tetapi sekali lagi memerlukan perubahan pola pikir, total cara cara kita berproduksi,” jelas Kepala Negara.

Presiden juga mengemukakan, saat memutuskan pengalihan pengalihan subsidi BBM dari yang konsumtif kepada yang produktif coba, semuanya demo. Padahal, jelas Presiden Jokowi, pemerintah  ingin mengalihkan subsidi dari konsumtif kepada produktif.

Presiden Jokowi menjelaskan, kita sudah berpuluh puluh tahun menikmati subsidi itu tanpa terasa. Setahun Rp 300 triliiun kita bakar dan hilang. Kalau 10 tahun menjadi Rp 3 ribu triliun.

Padahal, lanjut Jokowi, sesuai dengan hitungan yang dimilikinya, untuk membangun jalur kereta api di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara sampai di Papua itu hanya butuh duit Rp 360 triliun. Tapi sampai saat ini kita tidak bisa membangun karena tiap hari kita bakar yang namanya BBM itu dengan subsidi.

Kenapa yang dulu dulu tidak berani memotong mengalihkan ke yang produktif, menurut Presiden Jokowi, karena masalah popularitas. “Saya tahu dan saya sudah diingatkan oleh tangan kiri kita. Bapak kalau ini nanti dialihkan,pengalihan subdisi dari yang konsumtif dipakai kendaraan tiap hari kemudian dialihkan kepada sektor produktif, pertanian, perikanan, infrastruktur, hati-hati. Bapak bisa jatuh popularitasnya. Saya sampaikan, itu resiko sebuah keputusan,” tegas Jokowi.

Menurut Jokowi, setelah ia cek, yang menikmati subsidi Rp 300 triliun per tahun itu, 82 persen adalah mereka yang punya mobil. Ia mempertanyakan hal itu, karena yang punya mobil disubsidi, yang lain malah tidak.

Intulah, lanjut Presiden Jokowi, yang dilakukan pemerintah dalam proses kita tata untuk menuju subsidi yang produktif, subsidi ke tempat tempat sasaran yang betul, yang tetu saja meerlukan perubahan pola pikir.

“Memang berat, saya ngerti memang berat karena sekarang ini ada tekanan ekonomi global. Ada tekanan dollar kepada rupiah. Ada tekanan kemerosotan ekonomi dunia. Tetapi pilihan pilihan itulah yang sekarang kita ambil. Ini tantangan kemiskinan,” terang Jokowi.

Kepala Negara mengingatkan, bahwa kita sendiri sebagai bangsa harus bangga bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar. Nomor 4 (empar) jumlah penduduknya di dunia. Oleh sebab itu, Presiden mengaku dalam setiap konferensi internasional yang dihadirinya, ua minta duduk dengan negara negara besar.

“Saya tidak mau di pinggir-pinggirkan karena Indonesia adalah negara besar,” kata Jokowi seraya menunjuk contoh waktu menghadiri KTT APEC di Beijing, beberapa hari lalu. Presiden mengaku semula diberi tempat duduk yang agak jauh dengan tuan rumah, namun ia menolak, sehingga akhirnya tuan rumah meempatkannya duduk berdampingan Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.

“ini baru yang namanya kita bangga dan harus bangga bahwa kita adalah negara besar. Bahwa tantangan masih banyak. Itulah yang harus kita hadapi,” tambah Presiden Jokowi.

Tampak hadir dalam acara Harlah PMII itu antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Mensesneg Pratikno, Menpora Imam Nahrawi, Gubernur Jatim Soekarwo, dan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. (Humas Setkab/EN/ES)

 

 

 

Berita Terbaru