Strategi Pencegahan Korupsi Sistemik

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 1 Desember 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 67.460 Kali

RobiOleh: Roby Arya Brata *)

Satu per satu para wakil Negara Pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) melaporkan perkembangan  implementasi UNCAC.  Dalam  Konferensi  dunia   yang diselenggarakan di St. Petersburg, Rusia, 2 – 6 November 2015 tersebut, delegasi dari 177 negara sepakat pentingnya strategi pencegahan dalam pemberantasan korupsi sistemik.

Sejalan dengan pemikiran penulis selama ini, strategi pencegahan jauh lebih efektif dan efisien daripada strategi penindakan (law enforcement approach). Strategi pencegahan lebih mengutamakan pendekatan sistemik-komprehensif dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan pencegahan tidak akan melihat korupsi sebagai fenomena individual, tetapi akan menganalisisnya sebagai kegagalan institusional sistemik.

Analoginya sungguh sederhana?prevention better than cure, mencegah (penyakit) lebih baik daripada mengobati. Mencegah korupsi jauh lebih baik daripada membiarkan dan mengatasinya setelah korupsi itu terjadi. Biaya dan dampak politik, ekonomi dan sosial dari korupsi sistemik sangatlah besar.

Dengan cara menggerogoti dan merusak berfungsinya sistem politik, pemerintahan, ekonomi, dan hukum,  korupsi sistemik pada akhirnya secara perlahan namun pasti meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, mencegah terjadinya korupsi dengan segala dampaknya tersebut adalah strategi antikorupsi yang lebih baik, bijaksana, efisien, dan efektif.

Sebaliknya, seperti “membersihkan lantai yang kotor tetapi tidak menutup genteng yang bocor” atau “menebang batang pohon benalu tetapi tidak mencabut akarnya”, strategi penindakan (interventionist approach), seperti menangkap dan memenjarakan para koruptor,  tidak akan mampu menghentikan terjadinya korupsi karena tidak menutup peluang dan tidak mengatasi akar penyebab korupsi.

Penangkapan tiga Gubernur Riau yang berbeda dan  pemenjaraan beberapa pejabat daerah dalam kasus korupsi yang hampir sama, seperti menyalahgunakan dana bantuan sosial, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK membuktikan strategi penindakan (agresif) KPK  tidak mampu atau gagal mencegah terjadinya kembali tindak pidana korupsi.

Rasionalitas pencegahan

Strategi pencegahan memandang korupsi bukan sebagai gejala insidental namun lebih merupakan patologi sistemik dari sebuah sistem atau gejala sosial. Karena itu, pendekatan strategi pencegahan tidaklah parsial-individual akan tetapi sistemik, holistik dan komprehensif. Tidak seperti penindakan yang menggunakan pendekatan mikro, strategi pencegahan lebih mengandalkan pendekatan makro (macro approach), yaitu dengan merekayasa sistem dan institusi.

Sistem dan institusi direkayasa sedemikian rupa sehingga perilaku korup menjadi perbuatan yang beresiko tinggi dan tidak menguntungkan (high risk and low profit undertakings). Siapapun orangnya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi, karena biaya-biaya atau resikonya (hukum, ekonomi, politik, sosial, moral, dan reputasi pribadi/keluarga) jauh lebih besar dibandingkan manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh.

Sistem dan kebijakan didesain sedemikian rupa sehingga pejabat publik tidak akan melakukan korupsi karena pasti perbuatan korupnya akan segera dideteksi, ditindak, dan dihukum. Semua celah dan peluang korupsi dalam sistem hukum, politik, ekonomi dan pemerintahan ditutup dengan mengurangi, membatasi, menghilangkan, dan mengawasi penggunaan monopoli kekuasaan dan diskresi pejabat publik dalam pembuatan dan implementasi kebijakan publik.

Di sisi lain, akuntabilitas, pengawasan dan transparansi dalam pembuatan dan implementasi kebijakan publik tersebut diperkuat. Metoda pencegahan dapat berupa mewujudkan prinsip-prinsip good governance; menegakkan sistem integritas nasional; melakukan deregulasi, debirokratisasi, privatisasi; mendidik masyarakat dan menerapkan nilai-nilai agama dan kejujuran untuk berperilaku antikorupsi dan melawan perilaku korup.

Karena itu, bagi saya sebagai calon pimpinan KPK salah satu indikator keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi adalah bukan tingginya keberhasilan penuntutan (conviction rate) atau banyaknya koruptor yang dipenjarakan. Sebaliknya, saya merasa berhasil bila tidak ada lagi atau semakin berkurangnya pejabat publik yang dipenjarakan. Semakin banyak pejabat negara atau politisi yang dipenjarakan justru mengindikasikan tidak berjalannya sistem pencegahan KPK.

Semakin banyak pejabat dan politisi baik di pemerintahan  pusat maupun daerah yang dipenjarakan oleh KPK adalah salah satu indikasi kelemahan strategi KPK dalam memberantas korupsi sistemik. KPK seharusnya lebih menguatkan strategi pencegahan dengan menggunakan pendekatan sistemik-holisitik, bukannya secara agresif terus menerus menyadap, menahan dan memenjarakan koruptor.

Korupsi politik yang semakin endemik, misalnya, tidak akan dapat diatasi dengan terus menerus menangkap dan memenjarakan para politisi. Penyebab mendasar terus terjadinya korupsi jenis ini sesungguhnya karena kegagalan kita untuk menciptakan sistem politik yang berintegritas.

Salah satu penyebabnya adalah semakin tingginya biaya dan pendanaan kampanye dan pemilu akibat digantinya sistem pemilihan proprosional tertutup dengan  sistem proposional terbuka. Dengan sistem proposional terbuka para kandidat saling berkompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak.

Yang memprihatinkan, di tengah kemiskinan dan kesulitan hidup para pemilih kini semakin pragmatis. Suara pemilih ibarat komoditi yang dapat diperjualbelikan. Pemilih hanya akan memilih kandidat yang dapat memberikan keuntungan materi padanya. Karena itu, hanya kandidat yang memiliki kekuatan uang atau ekonomilah yang akan memenangkan pemilihan. Akibatnya, politik uang (money politics) semakin parah dan meluas.

Bagi para kandidat, sistem proprosional terbuka dan politik uang berarti semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk kampanye dan membeli suara. Di daerah tertentu, misalnya, kandidat walikota bisa menghabiskan Rp 30 milyar untuk memenangkan pemilihan.

Dalam banyak kasus, ternyata para kandidat dibiayai oleh pengusaha. Tentu “tidak ada makan gratis”. Si pengusaha tersebut akan menuntut balas jasa. Demi memenuhi tuntutan itu, si kandidat yang kemudian menjadi kepala daerah akan membuat keputusan atau kebijakan korup yang lebih menguntungkan si pengusaha. Akibatnya, demokrasi dan pemerintahan yang dihasilkan adalah demokrasi dan pemerintahan yang korup dan transaksional (institutional corruption).

Strategi pencegahan semestinya digunakan untuk mengatasi korupsi politik-institusional sistemik semacam ini. Ada beberapa opsi kebijakan. Pertama, sistem pemilu diubah menjadi sistem proprosional tertutup. Kedua,  tetap mempertahankan sistem proposional terbuka namun memperbaiki rekrutmen politik dan mereformasi partai politik.

Ketiga, menciptakan sistem pemilu yang efisien, misalnya mewakilkan suara pemilih kepada sekelompok orang atau perwakilan organisasi politik yang berintegritas, bisa melalui dewan perwakilan atau dewan pemilih (electoral college). Dan keempat, pendanaan kampanye dan partai politik ditanggung sepenuhnya oleh negara, atau didanai oleh negara dan swasta (mixed system), namun dengan memperkuat akuntabilitas, transparansi dan pengawasan penggunaannya.

*) Calon Pimpinan KPK 2015 – 2019, Delegasi Indonesia pada Konferensi Negara Pihak Konvensi Antikorupsi PBB, ST. Petersburg, Rusia, 2 – 6 November 2015

Opini Terbaru