Terorisme dan Undang-Undang Keselamatan Negara

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 25 Januari 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 39.290 Kali

RobiOleh: Roby Arya Brata*)

Isu utama dalam tulisan ini adalah bagaimana seharusnya undang-undang dirancang sehingga ancaman, kegiatan, dan kejahatan yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara, khususnya terorisme, dapat diatasi dengan efektif. Karena itu, kita perlu menganalisis dan membandingkan desain undang-undang keselamatan dan keamanan negara di Indonesia, Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura.

Perbandingan

Persamaan dari keempat undang-undang di negara-negara tersebut adalah adanya upaya negara untuk secara preventif, antisipatif, dan cepat mengatasi ancaman dan kejahatan yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara dengan cara penegakan hukum yang tidak biasa dengan menerobos hambatan-hambatan dalam penegakan hukum.

Dari hasil analisis tersebut saya berpendapat bahwa proses penegakan hukum yang normal atau biasa tidak akan mampu mengatasi dengan  efektif segala bentuk ancaman dan kejahatan yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara, seperti terorisme. Dalam keadaan tertentu atau darurat, proses penegakan hukum yang tidak biasa dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penegakan hukum yang fair (due process of law) terpaksa harus diambil untuk mengatasi kejahatan luar biasa itu dengan efektif.

Karena itu, penegakan hukum preventif (preventive law enforcement) harus dilakukan untuk mencegah dilakukannya kejahatan yang luar biasa tersebut. Penegakan hukum preventif tersebut misalnya kewenangan penyadapan terhadap segala bentuk komunikasi seperti telepon, email, dan short message service atau SMS; akses dan pengaturan terhadap rekening bank dan transaksi keuangan; pengaturan preventif pos dan keimigrasian; tindakan cepat, preventif, dan antisipatif untuk menangkap, menginterogasi, menyita, menggeledah, dan menahan seseorang yang dicurigai tanpa kendala-kendala yang menghambat.

Selain itu, terobosan hukum lainnya adalah pemberian diskresi yang luas pada penegak hukum; pemberlakuan cara-cara interogasi yang “tidak biasa”; pembatasan akses bantuan hukum; tindakan hukum terhadap kegiatan, publikasi, dan organisasi yang bersifat subversif; penambahan jangka waktu penahanan; dan pemberatan hukuman.

Namun demikian, penegakan hukum preventif tersebut sangat rentan dan terbuka bagi dilakukannya penyalahgunaan wewenang dan kesalahan oleh penegak hukum dan penguasa. Penyalahgunaan wewenang dan kesalahan tersebut misalnya kesalahan dalam penangkapan dan penahanan; perpanjangan penahanan, penyitaan, dan penggeledahan yang tidak sah; penyiksaan dan pembunuhan; penyadapan dan akses pada komunikasi, rekening bank, dan transaksi keuangan yang ilegal; pemerasan; penangkapan, penahanan, dan pembunuhan musuh politik penguasa.

Oleh karena itu, penegakan hukum preventif semacam itu akan mendapat tentangan yang keras dari masyarakat sipil karena terbuka bagi pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan sipil, kebebasan berpendapat dan pers, kebebasan berorganisasi, prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum yang adil, dan hak-hak konstitusional warga negara lainnya. Dengan kata lain, undang-undang yang memuat penegakan hukum preventif semacam ini akan dapat dibatalkan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Ada beberapa cara untuk mencegah atau meminimalisir penyalahgunaan wewenang dan kesalahan oleh penegak hukum itu. Diantaranya adalah penguatan proses penegakan hukum atau praperadilan; penguatan kewenangan pengawasan dari komisi-komisi penegakan hukum seperti Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan; penguatan transparansi dan akuntabilitas publik, manajerial, dan politik dalam proses penegakan hukum; dan penguatan sanksi bagi penegak hukum.

Untuk itu, sangat penting mencari keseimbangan yang optimal antara proses penegakan hukum untuk mengatasi kejahatan terhadap keselamatan negara dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia, kebebasan sipil, penegakan hukum yang adil, dan demokrasi.

Tiga opsi

Ada tiga opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah. Pertama,  mengadopsi Internal Security Act (ISA) Malaysia dengan beberapa modifikasi dan penyesuaian. Penyesuaian ini dilakukan agar proses penegakan hukum lebih menghargai hak asasi manusia, prinsip penegakan hukum dan peradilan yang fair, dan akuntabel. Pengawasan terhadap proses penegakan hukum dan pemberian sanksi pada penegak hukum yang menyalahgunakan wewenang juga harus diperkuat.

Kedua, mengadopsi Internal Security Act (ISA) Malaysia atau UU No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi sebagaimana adanya atau tanpa modifikasi yang signifikan. Pilihan ini akan membawa kita kembali ke zaman otoriter rezim Orde Baru, melawan sejarah, dan akan mendapat tentangan keras dari masyarakat sipil.

Dan ketiga, membuat undang-undang yang samasekali baru yang menjamin keseimbangan yang optimal antara proses penegakan hukum efektif untuk mengatasi kejahatan terhadap keselamatan negara dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia, kebebasan sipil, penegakan hukum yang adil, dan demokrasi. Pasal-pasal tertentu yang kontroversial dapat diberlakukan sementara dan akan diperpanjang berlakunya apabila efektif dan dapat diterima oleh masyarakat sipil, seperti ketentuan reauthorization pada pasal-pasal tertentu dalam Patriot Act Amerika Serikat.

Dari ketiga opsi kebijakan tersebut, tampaknya opsi yang ketiga adalah yang paling baik, karena lebih fisibel secara hukum dan politik, dan lebih kecil political and social cost-nya.

 

*) Analis Hukum dan Kebijakan

Opini Terbaru