Transformasi Digital: Suatu Keniscayaan Kekinian

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 September 2019
Kategori: Opini
Dibaca: 3.755 Kali

Oleh: Hardyanto *)

“Saya yakin jika kita sepakat dengan  satu visi Indonesia Maju, kita mampu melakukan lompatan kemajuan, lompatan untuk mendahului kemajuan bangsa lain”

Presiden Joko Widodo, “Pidato Kenegaraan”, 16 Agustus 2019

“Kita harus membangun nilai-nilai baru dalam bekerja, yang menuntut kita harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Maka kita harus terus membangun Indonesia yang adaptif, Indonesia yang produktif, Indonesia yang inovatif, Indonesia yang kompetitif”

Presiden Joko Widodo, “Visi Indonesia”, 14 Juli 2019

            Kita sekarang sedang berada pada zaman internet (internet age). Hampir semua bidang kehidupan umat manusia telah terdigitalisasi (digitalized human life). Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani Kuno, pernah mengatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (ζῷον πoλιτικόν) atau binatang politik: mahluk sosial, suatu masyarakat yang saling berinteraksi. Kini, beberapa kalangan menyebut masyarakat yang terkomunikasi dalam dunia maya secara global sebagai “homo cyber”.

            Entitas penduduk dunia saat ini pada hakikatnya adalah komunitas siber (cyber community) atau masyarakat maya (virtual society). Semuanya terjadi berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technology/ICT) berupa internet yang telah membuat kita hidup dalam suatu peradaban digital (digital civilization). Warga dunia (world citizen) pengguna internet atau media sosial (social media) khususnya kini memiliki julukan warga internet atau disingkat dengan warganet atau biasa disebut dalam bahasa Inggris sebagai internet citizen atau disingkat dengan netizen. Penetrasi internet terus merambah sampai ke  ranah pribadi di seluruh pelosok bumi. Sehingga hal ini memunculkan peristilahan warga elektronik atau e-Citizen.

            Sebagaimana kita ketahui, Hootsuite setiap tahunnya mengeluarkan laporan dunia digital berjudul “We Are Social”. Dalam We Are Social, Digital in 2019, antara lain, disebutkan bahwa tren pengguna internet dan media sosial tahun 2019 di dunia adalah sebagai berikut:

  • Total jumlah penduduk dunia: 7,676 milyar;
  • Pengguna Mobile Unik: 5,112 miliar;
  • Pengguna Internet: 4,388 miliar;
  • Pengguna Media Sosial Aktif: 3,484 miliar;
  • Pengguna Media Sosial Mobile: 3,256 miliar.

Sedangkan perkembangan digital di Indonesia, menurut laporan yang sama dalam sublaporan tentang Indonesia, disebutkan bahwa tren internet dan media sosial tahun 2019 di Indonesia adalah sebagai berikut:

  • Total jumlah penduduk Indonesia: 268,2 juta;
  • Pengguna Mobile Unik: 355,5 juta;
  • Pengguna Internet: 150 juta;
  • Pengguna Media Sosial Aktif: 150 juta;
  • Pengguna Media Sosial Mobile: 130 juta.

            Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indone sia (APJII) dan Polling Indonesia dalam Hasil Survei Nasional Penetrasi Pengguna Internet 2018 memberikan data yang memperkaya informasi hal dunia internet di Indonesia. Dalam Hasil Survei disebutkan bahwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 264,16 juta orang, 171,17 juta orang di antaranya adalah pengguna internet. Penetrasi pengguna internet mencapai 64,8%.  Angka tersebut naik 10% dari tahun sebelumnya yang sekitar 54,8%  atau 143,26 juta pengguna internet dari total 262 juta lebih penduduk pada tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan penetrasi  internet (internet penetration growth) tampaknya akan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini dapat terlihat dengan makin maraknya warga menggunakan aplikasi media sosial yang kini sudah menjadi kebutuhan pribadi untuk jati diri dan keberadaan persona (identity and personal existence), mengikuti tren dalam masyarakat, serta mencari informasi dan hiburan, atau bahkan berbelanja dan berpromosi bisnis.

            Munculnya peradaban digital telah membuat hampir seluruh aspek kehidupan terkait dengan elektronik atau digital, baik langsung maupun tidak langsung. Kehidupan publik menjadi serba terdigitalisasi. Hal inilah yang kemudian disebut dengan disrupsi digital (digital disruption).

            Dunia industri juga tidak terlepas dari disrupsi digital. Hampir tidak ada industri yang ada sekarang yang tidak terkena digitalisasi. Kehidupan industri manusia sehari-hari pada zaman purba yang masih sangat terbelakang dan bersifat manual telah berubah secara sangat mendasar atau revolusioner ketika muncul Revolusi Industri Pertama (First Industrial Revolution) atau kerap disebut dengan Industry 1.0. Munculnya  Industry 1.0 pada paruh kedua abad ke-18 bertumpu pada mekanisasi (mechanization), tenaga mesin uap (steam power), dan mesin tenun (weaving loom). Industry 1.0 kemudian diganti oleh Revolusi Industri Kedua (Second Industrial Revolution) atau Industry 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang mengandalkan produksi massal (mass production), pabrik perakitan (assembly line), dan energi listrik (electrical energy).  Revolusi Industri Ketiga (Third Industrial Revolution) atau Industry 3.0 lalu menggusur Industry 2.0. Industry 3.0 pada pertengahan abad ke-20 mengedepankan  otomatisasi (automation), perangkat komputer (computers), dan peralatan elektronik (electronics).

            Terakhir, pada peralihan abad ke-21, muncul Revolusi Industri Keempat (Fourth Industrial Revolution) atau Industry 4.0. Pada saat ini kita sejatinya telah mengarungi industri digital, di mana industri mempraktikkan sistem fisik siber (cyber physical systems), segala sesuatu terhubung dengan internet (Internet of Things/IoT), serta informasi dan komunikasi dalam jaringan (networks).

            Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi lewat kemajuan internet dalam Industry 4.0 pada gilirannya merambah dunia pemerintahan negara-negara dunia. Pada tataran negara, Pemerintah harus terbuka terhadap disrupsi digital yang terus mengglobal. Disrupsi tersebut membutuhkan perangkat-perangkat baru guna menghadapi dinamika dalam negeri dan tantangan hubungan internasional yang semakin kompetitif, cepat, dan keras.

            Kemudian muncul pemerintahan yang dikelola  secara digital atau elektronik atau electronic government yang kerap disingkat dengan e-Government dan belakangan muncul konsep e-Governance. Pemerintahan digital atau elektronik yang kerap disebut sebagai “e-Gov” sesungguhnya merupakan keharusan mutakhir.

            Department of Economic and Social Affairs (DESA), suatu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengeluarkan laporan berkala dwitahunan mengenai survei e-Government.  Dalam survei bertajuk United Nations e-Government Survey 2018, Gearing e-Government to Support Transformation towards Sustainable and Resilience Society disebutkan Indonesia  masuk dalam Kelompok EGDI (e-Government Development Index) yang memiliki nilai berada antara 0,50 sampai 0,75. Indonesia memiliki angka EGDI 0,5258, artinya masuk dalam kategori “Kelas Dua” atau High EGDI.

               “Kelas Pertama” atau Very High EGDI adalah negara-negara yang masuk dalam kelompok yang memiliki nilai antara 0,75 sampai dengan 1. Kelompok lain  adalah “Kelas Tiga” atau Middle EGDI (0,25~0,50) dan “Kelas Empat” atau Low EGDI (<0,25).

            Indonesia yang memiliki angka EGDI 0,5258 – indeks komposit dari OSI (Online Service Component), TII (Telecommunication Infrastructure Component), dan HC (Human Capital Component) – berada pada peringkat 107 dari 193 negara, yang berarti masih berada di sekitar tengah-tengah. Posisi Indonesia masih jauh di bawah negara tetangga sesama ASEAN Singapura, yang menempati posisi 7 dunia (setelah Denmark, Australia, Korea, Inggris, Swedia, dan Finlandia).

            Survei berkala “e-Gov” di atas merupakan laporan ke-10 sejak terbitnya Laporan pertama pada tahun 2001 bertajuk Benchmarking E-Government: A Global Perspective.  Dengan demikian, survei yang diluncurkan pada tahun lalu tersebut adalah terbilang terbitan terkini dengan data relatif baru, mengingat laporan berikutnya baru akan terbit tahun depan. Sehingga Laporan ini dapat dijadikan rujukan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan

            Mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk terbesar keempat di dunia (setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat) dan netizen Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia berada di kelompok “Kelas Satu” atau Very High EGDI. Terlebih lagi, Indonesia adalah salah satu anggota G-20 atau The Group of Twenty, yaitu  suatu kelompok informal 19 negara dan Uni  Eropa yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Saat ini kita sedang menghadapi disrupsi digital (digital disruption)  di mana hampir semua aspek kehidupan sudah tersentuh oleh internet (Internet of Things/IoT). Bahkan kini kita sudah memasuki era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).  Untuk itu, proses bisnis (business process) di lembaga pemerintah harus mengambil langkah-langkah menuju transformasi digital (digital transformation).

Transformasi digital adalah peristilahan yang berada dan muncul di mana-mana (omnipresent). Ia muncul dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi, media, bisnis, industri, bahkan juga pemerintahan. Transformasi digital memiliki pengertian yang sangat luas serta mencakup baik konseptual teoretis maupun terapan praktis. Namun, salah satu hal mendasar dari transformasi digital adalah pemindahan pola proses bisnis.

Proses bisnis pengelolaan pemerintahan harus segera melakukan, setidaknya, “migrasi” dari proses bisnis manual berbasis kertas ke proses bisnis berbasis digital atau elektronik. Transformasi digital dalam tata kelola pemerintahan adalah suatu keniscayaan kekinian guna mengarungi  peradaban digital global dalam rangka meningkatkan kemajuan dan ketahanan nasional sekaligus mendorong daya saing Indonesia di dunia internasional.

Catatan: Bahan dan data diambil dan diolah dari berbagai sumber media cetak, elektronik, dan digital.

*) Penulis adalah Kepala Bidang Naskah, Asisten Deputi Naskah dan Terjemahan, Deputi Bidang Dukungan Kerja Kabinet

Opini Terbaru