Transkripsi Kuliah Umum Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Maret 2016, di Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja
Yang saya hormati Bapak Rektor UNS beserta seluruh civitas akademika dan keluarga besar UNS
Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah, seluruh wali kota, bupati, gubernur yang hadir, pimpinan dan anggota dewan DPR, DPRD
Hadirin Bapak Ibu sekalian yang berbahagia.
Alhamdulilah saya sudah jadi kakek. Saya kaget, perasaan saya, saya masih muda, apapun saya syukuri.
Hari ini saya akan berbicara yang berkaitan dengan persaingan. Kalau UNS, pada lustrum kali ini mengangkat internasionalisasi UNS berbasis budaya nasional, saya kira apa yang saya sampaikan juga berkaitan dengan itu, berkaitan dengan persaingan global, berkaitan dengan keterbukaan, berkaitan dengan kompetisi.
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati,
Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, sekarang kita dihadapkan pada yang namanya kompetisi, yang namanya persaingan. Tidak hanya kota dengan kota, provinsi dengan provinsi, individu dengan individu, tetapi juga sekarang sudah masuk kepada persaingan negara dengan negara.
Kalau kita lihat di gambar (slide menunjukkan gambar para pemimpin ASEAN) ini kepala negara, kepala pemerintahan di ASEAN, setiap bertemu pasti bergandengan tangan seperti yang ada di gambar, bergandengan tangan. Tetapi di dalam pikiran saya, mereka adalah pesaing-pesaing kita, kita berkompetisi dengan mereka. Iya, karena kita juga rebutan dengan mereka untuk arus modal masuk, arus investasi masuk, arus uang masuk ke negara mereka, rebutan dengan kita menawarkan fasilitas-fasilitas, menawarkan insentif-insentif.
Itulah persaingan dan sudah tidak bisa kita tolak lagi, tidak bisa kita bilang nanti dulu, sudah tidak bisa. Inilah keterbukaan yang akan terus kita hadapi, bukan hanya di Masyarakat Ekonomi ASEAN, mau tidak mau sebentar lagi kita dihadapkan pada blok-blok perdagangan yang kalau kita tidak siapkan SDM-SDM kita, akan ditinggal kita oleh yang namanya kompetisi dan persaingan itu.
Ada FTA (Free Trade Agreement) EU (Uni Eropa), ada RCEP bloknya Cina, ada TPP bloknya Amerika. Sudah ngeblok, ngeblok, ngeblok, kita ikut atau tidak? Kalau bilang tidak mau ikut, RCEP gak mau ikut, FTA-nya EU gak mau ikut, TPP-nya bloknya Amerika. Apa yang terjadi? Begitu barang kita kirim ke sana dikenai pajak 20%. Begitu kita kirim produk ke negara sana, kita kena pajak 15%. Artinya apa? Barang kita gak mungkin bisa bersaing dengan negara lain, karena negara lain nol (pajak) yang ikut, yang tidak kena 20%. Oleh sebab itu, sekali lagi semuanya harus dikalkulasi. Ikut, untungnya apa? Tidak ikut, ruginya apa? Ini kompetisi.
Kemudian kalau kita melihat, sebenarnya tantangan ke depan, visi jauh ke depan itu akan seperti apa sih kita ini? Kita lihat masalah pertambahan penduduk dunia. Coba kita lihat pada tahun 2043, jumlah penduduk dunia akan 12,3 miliar. Meningkat drastis dua kali, apa yang akan terjadi pada tahun-tahun itu, yang harus kita persiapkan dari sekarang. Pada saat itu orang akan rebutan, dunia akan rebutan dua hal.
Yang pertama, energi pasti rebutan. Yang kedua, masalah pangan pasti rebutan. Akan rebutan dua hal itu dan keuntungan kompetitif kita adalah kita mempunyai itu. Kita mempunyai energi fosil, kita punya. Energi yang baru terbarukan, kita juga mempunyai. Pangan kita punya tetapi belum dikelola baik, energi kita juga punya tapi belum dikelola dengan baik. Sehingga memerlukan sebuah strategi besar negara ini, strategi besar ekonomi, strategi besar politik global, strategi besar pemikiran-pemikiran ke depan. Lima puluh tahun yang akan datang, 100 tahun yang akan datang, 1000 tahun yang akan datang harus dihitung dari sekarang dan harus dipersiapkan dari sekarang. Kalau jumlah penduduk sudah lipat dua, rebutannya hanya dua nantinya sekali lagi pangan dan energi, dan kita memiliki potensi dan kekuatan itu.
Pada saat saya ke Merauke tapi bukan di kotanya, masih dua jam dari Merauke. Saya melihat hamparan datar, luas, ada air, 4,2 juta hektar. Setelah saya hitung-hitung, kalau itu ditanami padi semuanya, itu sudah lebih dari produksi nasional kita sekarang. Kalau dikelola dengan manajemen yang baik, dikelola dengan cara-cara pertanian modern itu sudah lebih dari produksi nasional kita yang kurang lebih sekarang ini diatas 70 juta ton. Di sana saya hitung kurang lebih bisa mencapai 100-110 juta ton, hanya satu kabupaten. Padahal di situ kanan kirinya ada empat kabupaten yang memiliki kurang lebih hal yang sama.
Inilah kekuatan ke depan kita, energi kita semuanya punya, yang fosil, minyak, gas, kita ada semuanya. Batu bara kita punya semuanya. Hanya sekali lagi, kesempatan itu sering hilang karena strategi manajeman ekonomi kita, tidak kita rancang secara baik. Angin kita ada, yang terbarukan geothermal, matahari, yang tanaman kita ada semuanya, sawit bisa jadi biofuel, biodiesel, semuanya ada, semuanya. Ini hanya masalah manajemen, masalah pengelolaan.
Inilah saya kira tantangan kita ke depan dan harus kita persiapkan dari sekarang. Perguruan tinggi semestinya juga menyesuaikan itu, apa tantangan ke depan dan apa yang harus disiapkan oleh SDM-SDM perguruan tinggi, konsentrasi kita kemana? Ini harus ditentukan dari sekarang.
Oleh sebab itu, dalam persaingan, kembali kepada persaingan, yang kita perlukan adalah semua hal yang berkaitan dengan produktifitas, semua hal yang berkaitan dengan kecepatan, semua hal yang berkaitan dengan etos kerja, semua hal yang berkaitan dengan efisiensi. Kita harus punya hal-hal itu yang kita harus siapkan SDM ke depan karena persaingan nantinya bukan hanya persaingan barang dan jasa saja, tapi persaingan individu, SDM kita dengan SDM negara lain karena sudah ndak bisa kita cegah. Arus dokter masuk, arus profesional yang lain masuk, kita masuk ke sana tapi sewaktu juga mereka bisa masuk ke sini.
Tapi sekali lagi jangan takut dan jangan kuatir dengan itu, karena juga kepala negara yang lain, presiden, perdana menteri yang lain di lingkup ASEAN, bisik-bisik ke saya.
“Pak, kami takut, kami kuatir nanti orang Indonesia yang jumlahnya 252 juta itu akan masuk semuanya ke negara kita.”
Artinya apa? Negara-negara sekitar kita takut semua dengan kita. Jadi saya titip, kita jangan takut. Wong orang lain takut kok, presiden negara lain takut, kalau perlu kita takut-takuti supaya makin takut.
Janganlah kita, aduh saya kalau mendengar komentar terutama di media sosial, itu yang harus kita benahi. Budaya-budaya etos kerja, budaya-budaya berpikir positif, positive thinking, budaya-budaya optimisme, ini yang harus kita bangun. Sehingga negara lain melihat kita betul-betul, bukan hanya takut tapi ngeri dulu karena mereka ngomong sendiri.
“Bayangkan, Pak, kalau separuh dari penduduk Indonesia masuk ke negara kita (negara mereka), bagaimana kita bisa bersaing?”
Mereka takut loh, jangan dipikir mereka tidak takut dengan kita. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah bagaimana kita ini membenahi hal-hal yang kurang dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sekali lagi ini persaingan, ini kecepatan.
Tadi tertulis di situ dwelling time, hal-hal seperti itu. Ini masalah bongkar muat saja di pelabuhan yang saya ngamuk betul di situ, tapi tidak kelihatan wartawan. Saya masukkan ke dalam ruangan, betul-betul saya marah betul.
Bongkar muat di pelabuhan, di Singapura hanya 1 hari, di Malaysia hanya 2 hari, kita masih 6-7 hari saat itu, saat itu waktu saya masuk Tanjung Priok. Saya datang ke sana tapi memang 3 hari sebelumnya mereka tahu, saya akan ke sana, disiapkan monitor-monitor, dijelaskan tentang invoice, packing list harus seperti. Saya sampaikan, saya hidup ngurusin ekspor impor di pelabuhan itu 24 tahun, gak usah terangin.
Saya tanya sampai saya ulang tiga kali, ini yang gak bener siapa? Bea Cukai atau Pelindo-nya atau Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian, karena terlibat di situ banyak sekali ternyata. Gak dijawab, malah jawabnya bolak balik ke invoice, packing list PT. Apa, gak usah diterangin itu. Pertanyaan saya, siapa yang selama ini paling lambat? Gak dijawab-jawab kemudian saya masukkan ruangan, saya marahin habis. Dan ada satu menteri dengan terpaksa saya copot, saya ganti gara-gara dwelling time. Karena 6 biilan saya beri waktu, saya minta turun, gak turun sama sekali.
Tapi saat ini sudah masuk Januari ke 4,7 sekarang sudah masuk antara 3 dan 4 (hari), turun terus sudah. Kita harapkan, saya targetkan bulan depan sudah masuk pada posisi angka 3. Kalau angka 3 sudah mendekati 2 boleh lah, 7-6 hari ngurus kayak gitu. Biaya setelah saya hitung-hitung, biaya yang hilang hampir 740 triliun karena ketidakefisienan seperti itu. Ini masalah kecepatan, hanya masalah kecepatan. Tapi saya yakin tahun ini pasti, 3 (hari) itu Insya Allah akan kita dapatkan dengan cara apapun, apa ganti menterinya lagi atau yang lain.
Yang ke dua, ini juga kecepatan. Saya sudah tekankan, saya dapat banyak masukan lagi di daerah, dari daerah baik di kabupaten, kota, provinsi, sama masalah perizinan. Sehari setelah dilantik yang saya urus itu.
Saya datang ke BKPM, ini masalah penanaman modal. Saya tanya ke sana, bagaimana izin di sini? Saya tanya ke pemohon kan. Bisa 6 bulan, 8 bulan, bisa setahun. Saya sudah mikir ini pasti tergantung, kalau 6 bulan berapa, kalau 8 bulan berapa, kalau setahun berpa. Sudahlah ngerti, itu makanan sehari-hari sebelum saya masuk ke pemerintahan, ngertilah sudah.
Saya perintah saat itu semua kementerian yang ada izin-izin masukkan ke satu pintu di BKPM, ada 21 kementerian harusnya masuk ke sana. Saya tunggu 3 bulan masih separuh. Ini kan mendelegasikan kewenangan kepada BKPM, saya ngerti kenapa pada sulit, karena di situ ada ‘kue’-nya. Bapak Ibu tahu ya ‘kue’ ya? Karena ada ‘kue’ ya, gak mau. Tapi begitu saya sudah ngomong, tidak ada tawar menawar lagi, saya beri waktu. Akhirnya 21 menyerahkan ke sana kewenangannya.
Tiga bulan setelah itu, saya cek lagi masih seminggu dua minggu kalau izin, tapi kan sebelumnya bulan menjadi seminggu dua minggu. Saya sampaikan, saya gak mau, kenapa masih seminggu dua minggu?
“Pak, memang sudah diserahkan ke sini tapi tanda tangan masih di kementerian.”
Ini akal-akalan saja ini. Saya sampaikan kepada menteri, diserahkan total ke BKPM. Saya sampaikan kepada Kepala BKPM, saya minta tidak minggu lagi. Saya gak mau hari, tidak mau minggu, ngurus izin jam. Ini jamannya computerized, jamannya IT. Saya pernah coba yang ngurus SIUP TDP, SIUP itu apa sih, hanya ada 6. Nama perusahaan, nama pemilik, alamat, modal usaha, jenis usaha, hanya gitu-gitu.
Coba saya mau coba dengan yang ada di meja front (depan). Di oba, saya hitung dua menit. Ini kok masih minggu, masih bulan ngurus kayak gitu. Kenapa ini dua menit, jadinya kok masih minggu? Kenapa, saya tanya langsung? Saya memang senang ke daerah, ke lapangan karena saya ingin ngerti detil hal-hal seperti itu. Saya ingin ngerti mikro tapi saya juga ingin ngerti makronya, saya ingin nguasai itu. Apa jawabnya? Kenapa ini dua menit? Tapi tadi saya tanya pemohon bisa seminggu-dua minggu.
“Iya, Pak. Kalau di saya dua menit bisa, tapi yang di lantai 3, yang di atas itu yang lama.”
“Loh? Siapa yang di atas itu?”
“Yang tanda tangan, Pak, Pak Kepala.”
Ini ternyata yang tanda tangan malah dua minggu, tanda tangan satu detik kan rampung.
Hal-hal seperti yang kita akan kalah dalam kompetisi kalau tidak dihilangkan. Saya sudah minta bupati, wali kota, semuanya harus ngikutin hal-hal seperti itu. Kalau kita ingin memenangkan kompetisi. Kalau tidak, kita ditinggal oleh negara lain. Pilihannya hanya itu, menang atau kita ditinggal. Kalau saya, saya ingin menang dan saya harapkan seluruh rakyat juga ingin negara kita menang.
Kecepatan, pelayanan, kemudian apa lagi yang tidak efisien? Itu yang akan terus kita lakukan, yang lama, yang tidak efisien, yang menyebabkan kartelisasi, yang menyebabkan oligopoli, semuanya harus hilang.
Petral ini juga sama. Bapak Ibu tahu Petral ya? Beli minyak, beli minyak kita kan beli bisa yang G to G langsung, pemerintah ke pemerintah jelas lebih murah. Ini kenapa lewat orang yang ke tiga, yang di tengah? Sudah bertahun-tahun gak bisa hilang, saya sudah perintah ke menteri. Bubarkan itu, bekukan, bubar! Menterinya tanya saya lagi, “Pak, Bapak serius?”
Sudah diperintah, dibubarkan, bubarkan! Karena menteri kerjanya masih ragu-ragu. Kalau dua kali tanya, baru, ditegasin itu baru ya bubar sekarang. Ini yang menyebabkan ketidakefisienan tapi banyak yang gak seneng, saya tahu banyak sekali. Karena di sini bukan puluhan triliun lagi, hmm..ngerti saya.
Jadi untuk memperkuat daya saing pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang fundamental, pengalihan subsidi yang konsumtif kepada yang produktif. Coba setiap tahun kita dulu kehilangan 300 triliun untuk subsidi, yang disubsidi siapa? Yang disubsidi siapa? Saya cek di data 82% itu yang disubsidi ternyata yang punya mobil, Bapak Ibu Saudara-saudara semuanya dapat subsidi coba. Terus yang di desa dapat apa? Yang nelayan, yang usaha mikro kecil-kecil dapat apa?
Oleh sebab itu, perubahan itu harus dilakukan, termasuk pembubaran Petral, politik anggaran yang selama ini kita konsentrasi dan fokus pada infrastruktur, pada pendidikan dan kesehatan. Kemudian pembangunan yang tidak Java-centris tetapi Indonesia-centris itu yang akan terus kita lakukan. Kemudian hilirisasi, industrialisasi, gak bisa lagi kita kirim ke luar sekarang mentahan (raw material). Gak, harus diolah di sini. Karena nilai tambah itu harus berada di Indonesia.
Juga infrastruktur kita, karena dua menurut saya yang sangat penting. Selain tadi, masalah aturan-aturan, kecepatan, pelayanan, infrastruktur menjadi sangat penting sekali. Percuma kita melayani cepat tetapi begitu masuk ke pelabuhan-pelabuhannya terlalu kecil, kapal besar gak bisa masuk, sehingga yang dibangun harus pelabuhan. Ini di Kuala Tanjung sudah mulai tahun kemarin, Makassar New Port sudah mulai tahun ini, di Sorong akan kita mulai. Sudah, gak ada pilihan-pilihan. Konektivitas hubungan antar provinsi antar pulau karena kita harus sadar kita mempunyai 17.000 pulau.
Kemudian infrastruktur yang lain, kayak jalan tol, jangan di Jawa saja donk. Di luar Jawa juga sangat penting, karena ini sekali lagi, kecepatan mobilitas barang, mobilitas manusia. Ini di Trans Sumatera, ini sudah seperti gambar ini (gambar jalan tol Trans Sumatera) meskipun baru kecil sekali yang jadi. Tapi yang penting buat saya, dimulai, masalah diselesaikan kalau ada, tapi dimulai dan di luar Jawa.
Biasanya kalau Presiden itu ground breaking, sudah, iya kan? Tapi memang seharusnya seperti itu, tapi saya nggak. Setelah ground breaking, dia bulan saya cek lagi, empat bulan saya cek lagi. Saya ke tol Trans Sumatera ini sudah lima kali, semua yang besar-besar pasti akan saya kontrol. Saya cek, saya kontrol, saya cek, saya cek, saya cek lagi pasti, saya pastikan. Saya ingin melakukan ini agar yang bekerja di bawah itu betul-betul, pertama semangat, yang ke dua merasa bahwa dia bekerja diawasi. Kadang-kadang juga ada yang ngerasa-ngerasa, ini Presiden kok setiap hari ke sini? Biar, gak apa-apa.
Bandara kecil-kecil, yang di Rembele. di Bener Meriah, di Sorong, ingin sekali dikonektivitas. Saya ngerti, begitu saya cek di Trans Sulawesi, kereta api ini transportasi yang paling murah, darat itu yang paling murah ya kereta api. Ini sudah direncakankan 30 tahun yang lalu, tol Trans Sumatera juga katanya sudah 35 tahun yang lalu sudah direncanakan, direncanakan.
Kalau saya gak berfikir panjang-panjang. Sudah putuskan, jalan, putuskan jalan. Kenapa seperti itu? Infrastruktur itu semakin diundur akan semakin mahal, saya berikan contoh MRT di Jakarta. Pembebasan lahan ada 100 juta, 150 juta, 200 juta coba per meter. Coba itu dibangun 25 tahun yang lalu, paling hanya masih sejuta lima juta, itu baru pembebasan lahan, belum harga keretanya, sudah lipat.
Jalan-jalan desa juga perlu karena komoditas produk itu dimulai dari desa. Oleh sebab itu, dana desa tahun kemarin 21 triliun, tahun ini 47 triliun. Kenapa ini penting? Karena desa itu adalah dimulainya produk-produk itu berangkat, entah yang namanya beras, entah yang namanya palawija, yang namanya holtikultura semuanya asalnya dari situ. Kalau jalannya gak baik, bagaimana mobil bisa datang di desa itu? Produk-produk bagaimana bisa dikirim ke kota kalau jalannya seperti yang ada di seberang sana (menunjuk gambar jembatan yang rusak), kalau jalannya seperti itu. Padahal hanya delapan bulan bisa dibangun seperti yang sebelah kanan (gambar jembatan baru). Kita sudah bangun ini, saya coba saja ke Menteri PU, dicoba saja satu provinsi saja jembatan kecil-kecil coba yang bergelantungan seperti itu dibangun semuanya.
Di Banten, kemarin dibangun berapa? Sepuluh, tapi setelah ini akan dibangun lebih banyak karena saya mau ngecek dulu harganya berapa. Saya itu paling cerewet masalah harga. Cek dulu, bener, oke jalan. Kalau saya ke lapangan, ini kalau saya cek 5 kali. Pak Menteri PU pasti 10 kali, iya donk. Kalau presidennya 5 kali, menterinya pasti 10 kali, dua kali lipat ini pasti. Nanti dirjen-nya pasti ngecek ke bawahnya 20 kali, nanti bawahnya lagi direktur atau apa pasti 40 kali, pasti seperti itu. Ini manajemen kontrol ya seperti itu. Manajemen itu apa sih, merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol, mengawasi. Hanya itu.
Kemudian masuk tadi ke masalah pangan. Bagaimana kita bisa menanam, menanam, menanam kalau air tidak disediakan? Sehingga memang kita gila-gilaan, saya sudah sampaikan ke menteri sudah bangun setelah lihat lapangan semuanya 49 waduk dalam 5 tahun ini. Tahun kemarin 13, tahun ini 8, tahun depan lagi tambah, tambah, tambah. Karena kuncinya di situ, pangan.
Sekali lagi, energi dan pangan. Konsentrasi untuk memenangkan pertarungan global itu hanya dua itu. Orang nanti kalau kita sudah betul-betul butuh bendungan semuanya ada. Suatu saat, saya gak tahu tahun berapa, orang akan bisa datang, kepala pemerintahan/kepala negara, “Pak Presiden, mohon kami bisa dikirim dari Indonesia beras sekian juta ton.”
Akan bisa berbondong-bondong seperti itu karena jumlah penduduk sudah lipat dua kali, akan ada kejadian seperti itu. Ini yang harus kita persiapkan, mulai dari irigasi kecil itu harus diurus. Gak tahu berapa puluh tahun irigasi kecil kita ini. Kita suruh cek kemarin 52% rusak total, rusak berat.
Dan terakhir, saya ingin mendorong UNS untuk juga konsentrasi menembangkan riset serta hilirisasi yang kompetitif, untuk menjawab keperluan-keperluan tadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar yang ada. Ini harus menyesuaikan, perguruan tinggi mestinya menyesuaikan itu. Kalau kebutuhan pasar, kebutuhan masyarakatnya di pangan mestinya heavy-nya agak ke sana, energi heavy-nya juga ke sana.
Saya minta riset-riset yang memperkuat inovasi, yang memperkuat competitiveness, daya saing itu terus dilakukan. Perguruan tinggi juga perlu mengembangkan tema-tema riset yang strategis, tidak hanya kita riset untuk kita sendiri tapi betul-betul tematis dan arahnya, goal-nya, ke mana itu harus kepentingan masyarakat, kebutuhan masyarakat dan bisa dipakai oleh pasar baik industri, baik manufaktur, dan juga sisi pertanian, sisi nelayan. Proyek-proyek nasional yang berbasis riset, yang UNS juga sudah melakukan di bidang mobil listrik, sepeda motor listrik, saya kira harus terus dikembangkan.
UNS sebagai universitas yang berkembang menuju kelas dunia harus aktif dan juga mempersiapkan diri menjadi perguruan tinggi yang mandiri dan menjadikan UNS tidak kalah dengan universitas-universitas lain di dunia dan nantinya menjadi kebanggan kita, menjadi kebanggaaan Indonesia. Standar-standar intenasional karena sekali lagi kompetisi ini tidak hanya kota dengan kota, tidak hanya negara dengan negara, tapi univesitas di sini dengan universitas di negara yang lain, saya kira ini yang harus menjadi standar-standar kita.
Saya memberikan penghargaan, memberikan apresiasi kepada UNS yang telah diterima kehadirannya sebagai kampus yang peduli pada rakyat, kepada wong cilik khususnya yang fokus pada pemberdayaan UMKM, yang saya lihat dari dulu konsistensi UNS dalam pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang mengakar dalam masyarakat dan saya kira ini bisa diangkat dalam forum-forum nasional maupun global.
Pada saat ini, UNS juga memiliki pusat studi UMKM dan prodi S2, S3 mengenai pemberdayaan mayarakat, dengan bidang konsentrasi salah satunya adalah pemberdayaan UMKM, ini memang harus fokus, harus tematis. Maka UNS juga harus hadir di ujung-ujung pelayanan pendidikan dengan tri darma perguruan tingginya dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini, selama dies natalis ke-47 dan lustrum ke-8 kepada selurtuh keluarga besar UNS. Selamat bekerja, selamat berkarya. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.