Urgensi Ketahanan Pangan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 4 Maret 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 28.250 Kali

eddy_cahyono_sugiartoOleh: Eddy Cahyono Sugiarto, Staf Sekretariat Kabinet

Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.

Cuplikan Pidato Presiden RI pertama Ir. Soekarno tersebut mengingatkan kita akan arti penting ketahanan pangan. Isu pangan akan menjadi isu strategis yang terus mewarnai  dinamika perkembangan ekonomi dan politik setiap bangsa,  hal ini tidaklah berlebihan, mengingat  pangan  menjadi  salah satu kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup.

Pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga negara identik dengan hak asasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang  Nomor  18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui,  UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat tentang pentingnya pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience)  serta keamanan pangan (food safety).

Capaian ketahanan pangan secara sederhana dapat dicermati dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sehingga masyarakat  dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Bagi Indonesia upaya memantapkan  ketahanan pangan  tampaknya menjadi  tantangan tersendiri. Dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, sekitar 1,1 persen per tahun atau 2,5 juta orang, di sisi lain perubahan iklim mengancam kemampuan produksi pangan Indonesia, yang mengakibatkan ketergantungan pada impor terus menerus menggerus devisa Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir, ketergantungan terhadap pangan impor sudah mencapai taraf mengkawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan trend peningkatan, impor pangan pada 2003 tercatat 3,34 miliar dollar AS, namun  pada 2013 impor pangan telah mencapai  14,90 miliar dollar AS, atau tumbuh empat kali lipat.

Melonjaknya nilai impor tersebut karena produksi pangan di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19 persen pada 2003 dan menjadi 14,43 persen pada 2013.

Di tahun 2014,MajalahThe Economist menempatkan posisi Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya, yang diukur berdasarkan tiga indikator yakni daya beli konsumen, ketersediaan makanan, kualitas dan keamanan makanan.

Pentingya Meningkatkan Produksi dan Memperbaiki Manajemen Stok

Indonesia  punya peluang besar untuk wewujudkan swasembada pangan guna mencapai ketahanan pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya. Dari letak geografis, Indonesia juga sangat diuntungkan karena  terletak di wilayah tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam tanaman bisa tumbuh dengan baik.

Modal dasar ini setidaknya dapat menjadi kekuatan kita dalam meningkatkan produksi pertanian, agar memberi konstribusi maksimal dalam mencapai  swasembada pangan.

Komitmen dari pemerintahan Presiden Jokowi dalam meningkatkan swasembada pangan tercermin dari realokasi anggaran yang lebih fokus pada infrastruktur pangan, seperti pembangunan waduk dan irigasi, dengan menambah alokasi anggaran 2015 melalui APBN-P sebesar Rp 16 triliun, serta tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp 4 triliun.

Selain itu, pemerintah sedang memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi seluas 3 juta hektar sawah, serta memercepat pembangunan 27 bendungan pada tahun 2014, selanjutnya membangun 5 lagi bendungan pada tahun 2015 yang lokasinya di Aceh, Kudus, NTT dan Kaltim.

Pada 2016 Pemerintah juga mentargetkan minimal membangun 20 bendungan serta menyiapkan pembukaan areal baru bagi lahan pertanian di luar jawa dengan target luas sebesar 1 juta hektar.

Pembukaan lahan baru menjadi krusial mengingat sentral produksi pangan hanya didaerah tertentu,  hampir 60% dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa, dengan 40 % diantaranya di Jawa Timur, Sebuah provinsi di Jawa yang luasnya hanya 2,5% dari luas daratan Indonesia dan dengan jumlah penduduknya 14,8% dari jumlah penduduk Indonesia.

Pemusatan produksi menimbulkan berbagai kerumitan dalam pemasaran dan distribusi pangan, mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan 3000 pulau yang didiami penduduk, ditengah terbatasnya persediaan sarana dan prasarana perhubungan.

Dengan dukungan pembiayaan yang besar tentunya kita berharap aspek pengawalan dan pengendalian akan efektifitas penggunaan anggaran dapat mengedepankan transparasi dan akuntabilitas sehingga mampu menggerakkan sektor produktif yang mendukung langsung pencapaian swasembada pangan, seperti pembangunan irigasi, pengadaan benih dan pupuk serta alat dan mesin pertanian.

Bergeraknya sektor produktif pertanian diharapkan memiliki efek berantai dalam meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan indeks pertanaman, memberikan konstribusi terhadap pemantapan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan importasi pangan. Ketergantungan yang terlalu besar pada impor pangan pokok sangat rentan terhadap kerawanan pangan,  akibat produksi pangan dunia yang mengalami gangguan iklim, atau tiba-tiba  ada gangguan terhadap arus perdagangan pangan dunia.

Kita juga harus mulai memikirkan sistem insentif yang rasional bagi para pelaku pertanian pangan sehingga mereka bergairah untuk mengembangkan usahanya, untuk berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan produktifitas, memperoleh nilai tambah dari produk-produk pangan kita melalui pengembangan agroindustri pangan modern.

Dalam upaya swasembada harus selalu diamankan agar pangan di dalam negeri selalu tersedia cukup dan harganya tetap terjangkau oleh mayoritas konsumen. Gejolak harga beras di awal tahun 2015,  seyogyanya dapat menjadi  pelajaran berharga bagi kita dalam memperbaiki manajemen stok.

Perbaikan manajemen stok dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Bulog dalam memperbaiki supply dan distribusi dalam stabilitasi harga, serta mengoptimalkan peran Bulog dalam penyerapan gabah petani pada musim panen raya Maret- April  2015 guna penguatan stok.

Manajemen stok yang baik dapat menjadi jawaban terhadap masalah yangditimbulkan oleh panjangnya rantai pasokan,  yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar, serta “melawan”  penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).

Disamping itu, yang tak kalah pentingnya adalah aspek pengendalian guna memastikan berjalannya percepatan program prioritas ketahanan pangan, serta langkah cepat dalam mengatasi  penyelesaian masalah pada tataran teknis yang dilakukan secara komprehensif serta pemantauan tahapan kemajuan kerkait pelaksanaan program-program prioritas nasional di bidang ketahanan pangan.

Kita tentunya berharap dengan  komitmen dan dukungan pembiayaan yang besar,  serta pengendalian yang ketat dalam mewujudkan percepatan swasembada pangan,  kita akan mampu meningkatkan produksi dan memperbaiki manajemen stok guna mewujudkan percepatan ketahanan pangan dalam menjamin pemenuhan hak  pangan rakyat. Semoga.

 

Opini Terbaru