Urgensi Pembangunan Universitas Islam Moderat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 12 Juni 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 20.376 Kali

AKOleh. M. Arief Khumaidi*)

Beberapa waktu yang lalu (5/6/2015) dalam Rapat Terbatas (Ratas) di Istana Bogor,  Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggagas perlunya pembangunan perguruan tinggi Islam yang moderat. Presiden Jokowi mengundang sejumlah rektor dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna membahas gagasan pembangunan sebuah perguruan tinggi  Islam yang moderat, yang merupakan sebuah universitas yang besar, yang akan menjadi kiblat perguruan tinggi Islam, bahkan di dunia. Pembangunan universitas Islam tersebut menurut penulis menarik untuk di bahas.

Benar, sangat urgen pembangunan universitas Islam yang bercirikan moderat, dikarenakan Indonesia secara geo-politik maupun geo-ekonomi memiliki potensi yang besar, yakni sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan mayoritas Islam yang moderat, rukun dan hidup berdampingan dengan agama lain.

Kalangan dunia Islam telah mengapresiasi Indonesia mampu mengelola keragaman penduduk untuk menjadi sebagai bangsa yang hidup rukun dan toleran. Dunia juga mencatat Indonesia sebagai negara yang penduduk Islamnya terbesar di dunia muslim mampu melaksanakan demokrasi tanpa adanya konflik yang berarti. Kehidupan masyarakat Islam yang damai seperti ini menjadi sebuah cermin bahkan miniatur di dunia, bahwa Islam yang telah lekat dalam diri bangsa Indonesia yang plural menimbulkan citra yang baik, bahwa Islam telah memberikan “rahmatan lil alamiin” terhadap bangsa Indonesia.

Keberadaan  Indonesia sebagai negara yang mayoritas pendudukan berkeyakinan Islam,  yang cinta damai akan mematahkan pandangan bahwa terorisme dan anti demokrasi yang selama ini diidentikkan dengan Islam. Oleh karena itu ajaran Islam yang moderat tersebut perlu dijaga, sebab dapat memunculkan citra Islam di Indonesia yang cinta damai. Sehingga pemikiran bahwa Islam identik dengan terorisme dan anti demokrasi terpatahkan.

Tentunya ciri Islam di Indonesia yang damai ini harus dilestarikan, salah satunya melalui pengkajian-pangkajian yang mendalam, intensif dan bercorak akademis, yaitu dalam sebuah universitas. Diharapkan perguruan tinggi Islam moderat yang bertaraf internasional tersebut dapat membuat terobosan dalam pola didiknya dengan materi ajaran tentang nilai-nilai keislaman yang moderat. Dengan adanya perguruan tinggi Islam yang bertaraf internasional, maka di kemudian hari, Indonesia mampu melahirkan ilmuwan Islam, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, yang pemikiran dan ilmu pengetahuannya diakui dunia sampai saat ini. Oleh karena itu, Presiden Jokowi, bersama-sama dengan Wapres Jusuf Kalla, merasa perlu menggagas mengenai sebuah perguruan tinggi Islam moderat di Indonesia yang betul-betul sebuah universitas yang besar yang akan menjadi kiblat perguruan tinggi Islam dunia.

****

Memang, opini-opini yang berkembang di pemberitaan di dunia selama ini tandai dengan kekerasan, terorisme dan intoleran yang seringkali dilabelkan pada Islam. Sebutlah peristiwa-peristiwa pemboman di masjid di karenakan berbeda mazdab seperti serangan bom bunuh diri di dua masjid di ibu kota Yaman, Sanaa, Jumat, 20 Maret 2015. Pelaku bom bunuh diri menyerang Masjid Badr dan Masjid al-Hashoosh yang digunakan muslim Syiah Houthi di Sanaa untuk salat Jumat. Akibat serangan tersebut, 137 orang tewas dan 345 luka-luka. Tindakan inteleran seperti ini jangan sampai terjadi kembali di Indonesia, jangan sampai terulang peristiwa seperti penyerangan dan pengusiran warga Syiah di Sampang Madura pada tanggal 26 Agusuts 2012. Penyerangan yang dilakukan oleh warga terhadap jemaah Ahmadiyyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang Banten pada tanggal 6 Februari 20122 yang mengakibatkan tiga orang tewas, dua mobil, satu motor, dan satu rumah, dan penyerangan penganut warga Ahmadiyah. Tindakan seperti ini telah melukai perasaan warga Indonesia pada umumnya.

Peristiwa seperti itu telah menciptakan opini buruk tentang Islam, yang dekat dengan kekerasan, yang jauh dari misi Islam sesungguhnya menjadi rahmat untuk semesta (rahmatan lil alamiin).  Kekerasan ini jauh berbeda dengan keteladanan umat Islam yang terdapat dalam catatan-catatan sejarah, yang sering ditemukan adalah sikap toleran, pemaaf, tenggang rasa (tasamuh) terhadap perbedaan yang terdapat dalam masyarakat.

Pada jaman kehidupan Rasulullah Muhammad saw di kota Madinah diwarnai oleh masyarakat warga yang heterogen, terdiri dari Muslim, Yahudi, Nasrani dan dengan berbagai suku atau kabilah. Perbedaan yang terdapat di masyarakat Madinah pada waktu itu dicarikan titik temu, yang dikenal dengan “Kalimatun sawa’” (terdapat dalam Al Quran Surat 3:64). Prinsip pencarian titik temu agama-agama didasarkan pada kenyataan mendasar bahwa masing-masing umat memiliki aturan jalan menuju kebenaran (syir’ah) dan cara atau metode perjalanan menuju kebenaran (minhaj) sehingga semua umat memiliki kecenderungan yang sama menuju ke sana. Maka ditegaskan dalam ayat ini untuk ber-“ta’alu”,  atau “marilah menuju ketinggian atau marilah melampaui perbedaan-perbedaan syir’ah dan minhaj menuju titik temu, bukan kebalikannya mencari: titik beda.

“Kalau Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu persilisihkan (QS:5:48). Maka memaksa menjadi satu umat yang serba monoisme tidak dibenarkan.

Dalam Al Hujarat (12):13 disebutkan: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahu, Maha Teliti.

Berkehidupan berdasar kalimatun sawa’ ini dicontohkan Rasullullah Muhammad SAW pada saat membangun konstitusi Madinah yang terdiri dari 47 Pasal. Dalam satu pasalnya dijelaskan “tidak satupun bangunan dalam lingkungan kasisah dan gereja yang boleh dirusak, begitu pula tidak dibenarkan harta gereja untuk membangun masjid atau rumah orang-orang muslim. Barang siapa melakukan hal tersebut maka telah melanggar perjanjian Allah dan melawan Rasul. Isi Piagam Madinah lainnya antara lain adalah orang Yahudi dari Bani Auf diakui sebagai satu bangsa dengan orang-orang beriman, tetapi dalam beragama secara masing-masing. Ketetapan ini berlaku bagi anak cucu mereka, kecuali yang telah berbuat aniaya.

Sikap tasamuh ini juga dapat ditemukan pada masa peradaban Islam di Andalusia, Spanyol, yang terjadi rentang tahun 711-1429 M, juga telah berhasil dibangun budaya dan peradaban yang sangat sarat dengan nilai-nilai human yang agung diwilayah ini. Keragaman peradaban Islam di Andalusia dipengaruhi  oleh adanya struktur kehidupan sosial yang sangat beragam, yang terdiri dari etnis Barbar, Arab, Muwalladum (penduduk) pribumi, Yahudi dan Kristen dan etnis Negro, Slav dan Frank. Peradaban Andalusia yang muslim itu dapat hidup bersama secara damai dalam kurun waktu yang cukup panjang, yaitu 8 abad.

Pada masa pemerintahan al Aziz  (+950m),  salah seorang pemimpin di dinasti Fatimiyah yang syiah, memperlakukan orang Kristen dengan baik, begitu juga sangat menghargai orang-orang muslim sunni yang berbeda dengan dirinya.  Orang-orang sunni memiliki kebebasan bernegara dan beragama, bahkan banyak  para da’i  sunni yang belajar di al azhar, Mesir.

Sikap toleransi penting untuk diamalkan karena berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal khazanah intelektual, peradaban Islam merupakan puncak perkembangan pada peradaban Sumeria, dengan ciri perkotaan yang sangat menonjol. Salah satu ciri perkotaan Islam (madani) ini adalah  kesarjanaan atau intelektualisme. Pada zaman pra modern ketika itu tidak ada masyarakat manusia yang memiliki etos keilmuan yang begitu tinggi seperti pada masyarakat muslim,  mereka telah mencapai peradaban yang  gemilang pada zamannya. Etos keilmuan ini yang kemudian diwariskan oleh peradaban muslim kepada negara-negara Barat, yang  kemudian dikembangkan hingga memasuki zaman moderen, yang kelanjutan kemajuannya tersebut dapat kita lihat dan rasakan sampai saat ini.

Akibat jaminan kreatifitas dan toleransi terhadap perbedaan telah munculkan karya-karya besar di jaman di jaman Abbasiyah.  Jaman Harun al Rasyid dan al Makmun mendirikan akademi pertama  yang dilengkapi dengan  lembaga penterjemah. Al Mansur salah satu khalifah Abbbasiyah terkenal dengan politikus yang demokratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah, sederhana, fasih berbicara, dan dekat dengan rakyat. Pada jaman periode Abbasiyyah pada masa khalifah yang toleran ini muncul ilmuwan yang dikenal sebagai fugaha legendaris sampai saat ini seperi Imam Hanifah (700-767M), Imam Malik (713-795), Imam Syafei (767-820) dan Imam Ahmad ibnu Hambal (780-855),

Dengan adanya tasamuh, sikap toleran dan pemaaf dan tidak mudah mengkafirkan, hasilnya juga dapat dilihat dari pengaruh ajaran–ajaran Islam di berbagai daerah di Indonesia. Kekayaan simbol, budaya, seni, artefak Islam di Indonesia adalah bukti Islam telah menjadi daging di Nusantara, telah menginternalisasi di masyarakat,  yang dibuktikan dengan karya karya pujangga yang penuh dengan pengaruh  Islam, seperti serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV, Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, karya Serat Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Karya-karya pujangga ini merupakan  karya sastra Islam yang berwajah Jawa. Kemudian juga munculnya Kasultanan di Demak, Surakarta, Yogyakarta dan  Banten, Tidore, dan belahan Nusantara lainnya, juga budaya-seni lokal yang bermuatan Islam di berbagai daerah. Inilah bukti kultur Islam yang berkembang di Indonesia, akibat sikap toleran pembawa dakwah Islam pada masanya.

****

Kemunduran peradaban Islam  disebabkan oleh adalah lekatnya sikap-sikap tidak toleran terhadap perbedaan, baik intra Islam maupun antar Islam. Sikap-sikap tidak toleran terhadap  mazhab atau golongan lain yang berbeda dengan dirinya dan sikap yang terlalu fanatik terhadap mazhab dan golongan sendiri yang menyebabkan peradaban Islam mengalami mundur setelah sebelumnya  memimpin dunia melalui peradabannya yang tinggi, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, karya sastra dan moralitas.

Pada masa Islam Klasik  telah mucul nama-nama besar dalam dunia ilmu pengetahuan, yang tidak hanya diakui di kalangan dunia Islam namun juga di belahan dunia lainnya, seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Rusyd, Abu Bakr al Razi, al Rumi, Al Khawarizmi, al-Birumi.  Para ilmuwan tersebut juga mengalami sasaran kritik dan berpolemik dengan kalangan-kalangan agamawan, khususnya para ulama figh pada saat itu. Namun indahnya, walaupun mereka berdebat, namun tidak pernah menyeret pada sikap intoleran terhadap yang pandangan yang lain.  Para ilmuwan tersebut orang-oang yang tulus dalam beragama, meskipun berbeda dengan cara beragama dengan yang lain. Seperti al Kindi, disamping seorang ilmuwan, namun juga seorang penghafal al Quran, yang mengamalkan al bathiniah (penganut kebatinan).

Gejala radikalisme dan tidak toleran dengan perbedaan merugikan umat dan bangsa. Sikap parokialis yaitu sikap sempit hati, yang menolak sesuatu yang bukan berasal dari kalangan sendiri sebagai hal yang salah dan anggapan bahwa dirinya atau kelompoknya yang paling benar. Sikap tersebut berlawanan dengan sikap kosmopolitan dan universalisme yang ditaudalankan oleh Nabi SAW, yang kemudian dipraktekkan oeh umat Islam di masa klasik.

Berkembangnya sikap-sikap intoleran tersebut telah menyedot energi masyarakat pendukung serta memalingkan perhatian masyarakat pada hal-hal yang mendasar dan menentukan dalam perkembangan dan kemajuan zaman.  Rasydi Ridha seorang pembaharu abad 19 menyatakan bahwa mereka yang fanatik buta itu mengingkari ajaran agama bahwa perbedaan adalah rahmat.  Apalagi secara fanatik memandang cara berfikir atau mazhab yang dianut selain mazahab dan golongannya dengan pandangan tidak suka dan dimanifestasikan dengan sikap kekerasan. Mengingkari perbedaan adalah rahmat tidak sesuai dengan sunatullah.

****

Semoga, melalui pendirian Univeristas Islam yang moderat tersebut, akan meneruskan kembali Islam yang mengkedepankan dimensi  moralitas Islam, yang menyebarkan hawa atau semangat rahmatan lil alamiin. Menjaga Islam sebagai rahmatan lil alamiin.  Amiin.

____

*) Alumnus fakultas filsafat UGM, saat ini aktif di Sekretariat Kabinet RI

Opini Terbaru