UU Cipta Kerja Sebagai Stimulus Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional (Part 1)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 November 2020
Kategori: Opini
Dibaca: 2.685 Kali

Oleh: Jeanne Anggun Yanibella Butar Butar*)

Pandemi COVID-19 telah memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Puncaknya, pada kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,32 persen. Hal itulah yang mendorong pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah melalui pengesahan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU Ciptaker ini diharapkan mampu membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. UU ini adalah terobosan pemerintah untuk mempercepat perizinan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan oleh karenanya harus segera dilaksanakan agar dapat mendatangkan banyak investasi dan membuka lapangan kerja di Indonesia.

Perjalanan UU Ciptaker dimulai saat pertama kali disebutkan oleh Joko Widodo dalam pidatonya saat dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan yang kedua pada tanggal 20 Oktober 2019. Selang empat bulan kemudian, pada tanggal 12 Februari 2020 pemerintah diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyerahkan Surat Presiden dan draf RUU Ciptaker kepada DPR RI untuk kemudian dibahas sesuai dengan mekanisme di legislatif.  Proses pembahasan pun dilakukan bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.

Namun kebijakan pemerintah ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil, terutama kalangan pekerja. Beberapa hal menjadi dasar alasan penolakan, di antaranya seperti hilangnya aturan upah minimum, hilangnya pesangon, hingga praktik outsourcing atau alih daya yang dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan tanpa batasan waktu. RUU Ciptaker dinilai berpotensi untuk merugikan kaum pekerja. Kerasnya penolakan ini mendorong Presiden Joko Widodo untuk menunda sementara pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker. Dengan penundaan tersebut, pemerintah bersama DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan, juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan.

Pemerintahpun akhirnya mengajukan beberapa perubahan pada substansi pokok RUU yang berkaitan dengan ketenagakerjaan setelah mendapatkan masukan dari beberapa pihak dan menyesuaikan dengan kondisi perekonomian saat ini.

Setelah 64 kali rapat pembahasan oleh Baleg DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI, RUU Ciptaker disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Sidang I Tahun Sidang 2020 – 2021 tanggal 5 Oktober 2020.

Pendekatan Omnibus
Pada saat memberikan keterangan pers kepada awak media di Istana Negara tanggal 5 Februari 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa UU Ciptaker bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menyederhanakan sekelumit aturan yang menghambat peningkatan investasi dan penciptaan kerja yang berkualitas. Masalah regulasi masih menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu kendalanya adalah ego sektoral. Ego sektoral merupakan kecenderungan berbagai lembaga pemerintah untuk memprioritaskan kepentingan mereka sendiri daripada berkolaborasi dengan kementerian atau lembaga lain. Masalah lebih lanjut dalam manajemen peraturan di Indonesia adalah tidak adanya prosedur yang ketat untuk menyelaraskan, memantau, dan mengevaluasi peraturan sehingga banyak yang bertentangan atau saling tumpang tindih.

Selain itu, saat ini masalah yang kerap menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja, antara lain proses perizinan, administrasi dan birokrasi yang rumit dan lama, dan persyaratan investasi yang memberatkan. Belum lagi soal pengadaan lahan yang sulit, hingga pemberdayaan UMKM dan koperasi yang belum optimal.

Sejumlah substansi dalam UU Ciptaker disusun sedemikian rupa dengan harapan terjadi perubahan struktur ekonomi yang mampu menggerakkan semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. UU ini digagas untuk menyederhanakan dan menyelaraskan regulasi terkait investasi dan penciptaan kerja yang berkualitas serta kesejahteraan pekerja dan pemberdayaan UMKM.

UU Ciptaker dibuat dalam bentuk omnibus law. Presiden Joko Widodo memang ingin memulai tradisi penyusunan perundangan dengan metode omnibus law untuk membenahi regulasi yang tumpang tindih, dimana satu UU dapat menyinkronisasikan puluhan UU secara serempak, sehingga antar UU bisa selaras memberikan kepastian hukum. Hal ini disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi pada tanggal 26 Agustus 2020. Omnibus law dapat diartikan sebagai sebuah undang-undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabur atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.

Di dalam UU Ciptaker terdapat 11 klaster dan ada 15 bab serta 174 pasal, yang merupakan bentuk perampingan dari 79 UU dengan 1.244 pasal. Penjelasan dari masing-masing klaster adalah sebagai berikut:

  1. Klaster pertama mengenai penyederhanaan perizinan berusaha yang dibagi menjadi 18 subklaster di antaranya perizinan lokasi, perizinan lingkungan, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor kelautan dan perikanan, sektor pariwisata, dan lain-lain.
  2. Klaster kedua mengatur persyaratan investasi, di dalamnya termasuk penetapan priority list atas bidang usaha yang didorong untuk investasi serta kriteria priority list teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan padat karya. Selain itu, bidang usaha yang tertutup untuk kegiatan penanaman modal didasarkan atas kepentingan nasional, asas kepatutan, dan konvensi internasional. Poin lainnya adalah kegiatan usaha UMKM dapat bermitra dengan modal asing.
  3. Klaster ketiga menyangkut ketenagakerjaan. Klaster ini diantaranya mengatur tentang upah minimum dimana kebijakan pengupahan masih tetap menggunakan sistem upah minimum. Kenaikan upah minimum  disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Pengaturan lainnya yakni mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan perlindungan dan kompensasi PHK.

Hal lain dalam klaster ketiga adalah peningkatan perlindungan pekerja dan perluasan lapangan pekerjaan. Poin ini terbagi menjadi tiga yaitu pekerja kontrak, alih daya (outsourcing), dan waktu kerja. Dalam UU Ciptaker diatur bahwa pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3, dan kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

Pengaturan waktu kerja tetap mengedepankan hak dan perlindungan pekerja. Waktu kerja normal ditetapkan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Perizinan tenaga kerja asing (TKA) ahli juga diatur dalam klaster ini. Penggunaan TKA dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh pekerja dalam negeri.

  1. Klaster keempat adalah mengenai kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Pengaturan dalam klaster ini mencakup kriteria UMKM, pengelolaan terpadu UMK, kemitraan, intensif pembiayaan, dana alokasi khusus, serta kemudahan perizinan tunggal.
  2. Klaster kelima mengatur tentang kemudahan berusaha, di antaranya kemudahan pendirian badan usaha, kemudahan dalam proses, pertambangan hilirisasi minerba, minyak dan gas bumi, hingga badan usaha milik desa (BUM-Des).
  3. Klaster enam berkaitan dengan dukungan riset dan inovasi. Kebijakan perdagangan luar negeri nantinya akan memberi keberpihakan pada produk inovasi nasional. Pemerintah pun dapat menugaskan BUMN dan swasta untuk melakukan riset, pengembangan, dan inovasi.
  4. Klaster ketujuh tentang administrasi pemerintahan. Dalam klaster ini diatur bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan, sementara menteri/kepala lembaga dan kepala daerah merupakan pelaksana kewenangan Presiden. Presiden menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga dan kepala daerah, serta berwenang membatalkan Perda melalui Peraturan Presiden.
  5. Klaster delapan mengatur tentang pengenaan sanksi, salah satunya adalah pemisahan penerapan sanksi administratif dengan sanksi pidana. Sanksi administrasi berupa peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin dan denda. Pengenaan sanksi pidana disesuaikan dengan ketentuan KUHP dan UU Tindak Pidana Korupsi.
  6. Klaster kesembilan menyangkut pengadaan lahan dan kawasan hutan.
  7. Klaster kesepuluh mencakup tentang investasi dan proyek pemerintah, salah satunya mengenai pembentukan lembaga pengelola dana investasi negara / sovereign wealth fund (SWF) untuk mengelola dan menempatkan sejumlah dana dan aset negara.
  8. Klaster sebelas berkaitan dengan kawasan ekonomi. Klaster ini mengatur tentang kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, serta kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Cakupan substansi tersebut diyakini dapat mendukung upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian nasional.

*)Penulis adalah pegawai pada Sekretariat Kabinet. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan tempat penulis bekerja.

Opini Terbaru