Hasil Dialog Konstruktif Pemerintah Indonesia dengan Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Badan Traktat PBB
Oleh: Bambang Poerwono*) dan I Wayan Sulpai **)
Pemerintah Indonesia (Pemri) telah melaksanakan Dialog Konstruktif dengan Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya[1] yang digelar pada tanggal 20 s.d. 21 Februari 2024, di Gedung Palais Wilson, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jenewa, Swiss. Dialog Konstruktif merupakan tindak lanjut laporan periodik ke-2 Indonesia kepada Badan Traktat PBB atas implementasi HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dialog Konstruktif dipimpin oleh Ketua Komite Laura-Maria Craciunean-Tatu yang berasal dari Rumania, diikuti oleh Delegasi RI (Delri), anggota Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Komnas HAM yang berperan sebagai pengamat (observer). Pada kesempatan ini Delri dipimpin oleh Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kemenlu, dengan komposisi delegasi yang berasal dari Kemenko Bidang Polhukam, Kemenlu, Kemenkumham, Sekretariat Kabinet, KemenPPN/Bappenas, KemenATR/BPN, KemendesPDTT, Mahkamah Agung, dan Perutusan Tetap Republik Indonesia di Jenewa.
Secara umum, Dialog Konstruktif merupakan mekanisme yang digunakan oleh Badan Traktat PBB untuk meninjau kepatuhan negara pihak (state party) terhadap pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR). Dalam Dialog Konstruktif, Komite memerhatikan laporan dari Pemri, laporan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta laporan dari organisasi masyarakat sipil. Dialog Konstruktif memberikan kesempatan kepada negara pihak untuk menyampaikan dan mengonfirmasi perkembangan implementasi nilai-nilai yang terdapat pada Kovenan. Selanjutnya, setelah pelaksanaan Dialog Konstruktif, Komite akan menyampaikan catatan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan implementasi nilai-nilai yang menjadi mandat dari Kovenan.
Dialog Konstruktif antara Pemri dengan Komite merupakan salah satu bentuk komitmen dan kepatuhan terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
A. Ikhtisar Kovenan dan Hal-hal yang mengemuka pada Dialog Konstruktif
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya bertujuan untuk memastikan pemenuhan dan pemajuan HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Secara umum, Kovenan menetapkan berbagai hak fundamental yang wajib dipenuhi oleh negara, di antaranya mencakup hak atas pekerjaan yang layak, standar hidup yang memadai, kesehatan fisik dan mental, serta pendidikan dan kebudayaan. Kovenan juga mewajibkan negara pihak untuk menyampaikan laporan perkembangan implementasi nilai-nilai Kovenan kepada Badan Traktat PBB.
Dengan merujuk pada ketentuan yang terdapat pada Kovenan, Komite secara umum mengakui berbagai perkembangan Indonesia dalam pemenuhan dan pemajuan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun, Komite juga menaruh atensi terhadap isu-isu terkini yang berkembang di Indonesia, di antaranya isu terkait pemenuhan HAM pada masa pandemi COVID–19, Undang-Undang Cipta Kerja/Omnibus Law (UUCK), bisnis dan HAM, proyek strategis nasional (PSN), hak ketenagakerjaan, pelindungan masyarakat hukum adat (MHA), dan pelindungan anak.
B. Implementasi dan Upaya Pemenuhan dan Pemajuan HAM Indonesia
Delri menyampaikan berbagai pencapaian dan tantangan terkait pemenuhan dan pemajuan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pandemi COVID-19 menjadi tantangan yang signifikan dalam upaya Indonesia untuk memenuhi dan memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Oleh sebab itu, Pemri mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengelola dampak dari pandemi. Di sektor kesehatan, tercatat lebih dari 203 juta penduduk Indonesia telah menerima program vaksinasi dosis 1, lebih dari 174 juta menerima vaksinasi dosis 2, lebih dari 70 juta menerima vaksinasi dosis 3, dan lebih dari 3 juta menerima vaksinasi dosis 4. Capaian Indonesia ini mendapat apresiasi dari World Health Organization (WHO) sebagai salah satu negara dengan penanganan pandemi COVID-19 terbaik di dunia.
Pada sektor ekonomi, berbagai kebijakan juga dikeluarkan, misalnya Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah 3,5 juta rupiah setiap bulan, Program Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan (PKH), dan relaksasi kredit di masa pandemi. Dampak positif berbagai kebijakan ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,31 persen pada 2022 dan 5,05 persen pada 2023. Selain itu, angka pengangguran menurun dari 5,86 persen pada Agustus 2022 menjadi 5,32 persen pada Agustus 2023, termasuk juga penurunan angka kemiskinan ekstrem dari 3,5 persen pada 2021 menjadi 2,5 persen pada 2022.
Berkaitan dengan UUCK, Delri menyampaikan bahwa UUCK merupakan seperangkat kerangka normatif komprehensif yang dirumuskan untuk memberikan kepastian hukum dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian Indonesia, menarik investasi asing, dan meningkatkan kemudahan berusaha. Dilihat dari proses pembentukan, UUCK telah melewati berbagai proses, termasuk proses untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), utamanya terkait partisipasi bermakna (meaningful participation) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. UUCK berhasil meningkatkan investasi asing di Indonesia, dengan data menunjukkan bahwa aliran investasi asing meningkat sebesar 29,4 persen pada periode Januari 2021 s.d. Maret 2022 dibandingkan periode Juli 2019 s.d. September 2020.
Selanjutnya terkait bisnis dan HAM, komitmen Indonesia terlihat jelas dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Perpres ini adalah langkah untuk memperkuat kerangka peraturan dan kelembagaan negara untuk melindungi berbagai aspek HAM dalam dunia usaha, termasuk untuk memastikan tanggung jawab perusahaan dalam penghormatan HAM, serta menjamin akses terhadap pemulihan. Selain itu, Pemri juga terus memperluas penerapan aplikasi PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan HAM). Terhitung terdapat 237 badan usaha yang berpartisipasi dalam PRISMA sejak diluncurkan pada Februari 2021.
Soal PSN, Delri menyampaikan bahwa selama delapan tahun terakhir (2015-2023), sebanyak 173 PSN telah selesai dibangun dengan nilai Rp1.442 triliun. PSN telah memberikan dampak yang signifikan dalam menciptakan konektivitas, sehingga membentuk pemerataan dan memperlancar arus perekonomian dari pusat ke daerah. Hal ini terbukti dari kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia (LPEM UI) dan Prospera terhadap 137 PSN yang menunjukkan bahwa PSN telah berkontribusi terhadap perekonomian dengan output sebesar Rp1.670 triliun dan menciptakan 4,5 juta lapangan kerja. Proyek-proyek infrastruktur yang terealisasi juga telah memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional dan peningkatan daya saing. Menurut International Institute for Management Development, peringkat daya saing Indonesia pada 2022 naik menjadi 34 dibandingkan peringkat pada tahun 2021 di posisi 44.
Berkaitan dengan hak ketenagakerjaan, Indonesia menjamin hak pekerja untuk mendirikan serikat pekerja dan memilih untuk mogok kerja. Hak untuk mendirikan atau bergabung dengan serikat pekerja tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, kemudian hak untuk mogok kerja dilindungi oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, pengembangan sumber daya manusia (SDM) siap kerja juga menjadi perhatian Pemri, hal ini terlihat dari diluncurkannya program Kartu Prakerja dan pembenahan sistem pendidikan vokasi dengan ditetapkannya Perpres Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi.
Berkaitan dengan pelindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA), isu yang mengemuka adalah akses terhadap lahan. Untuk itu, Pemri terus berupaya menjamin hak atas tanah bagi MHA dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Lebih lanjut, Pemri telah memulai pilot project untuk menerbitkan sertifikat hak pengelolaan tanah bagi MHA di Sumatera Barat dan Papua. Selain itu, pengakuan dan pelindungan MHA juga telah dilakukan melalui penerbitan 129 peraturan daerah (perda) yang tersebar di 22 provinsi.
Terakhir, terkait pelindungan anak, Indonesia menunjukkan komitmennya dengan membentuk Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja, serta Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif sebagai program terpadu untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030. Sejalan dengan program tersebut, Indonesia juga berupaya untuk menghapuskan pernikahan anak (pernikahan dini) dengan terus berupaya meningkatkan kesadaran bagi para pemuka agama dan tokoh masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan dini. Selain itu, kemudahan akses dalam pembuatan akta kelahiran juga menjadi prioritas nasional sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
C. Refleksi dari Dialog Konstruktif
Apresiasi yang diberikan oleh Komite tentu menjadi simbol kerja sama yang baik antara Indonesia dengan Badan HAM internasional. Dengan tangan terbuka, Indonesia mengapresiasi Komite dan menerima catatan, saran, dan masukan untuk meningkatkan implementasi Kovenan di Indonesia sepanjang tidak berbenturan dengan norma dan nilai luhur serta kedaulatan bangsa Indonesia. Pemenuhan dan pemajuan HAM bukanlah kerja instan, melainkan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Tentu patut disadari bahwa langkah yang ditempuh oleh Indonesia bukanlah hal yang sempurna. Oleh sebab itu, seluruh pihak harus memiliki komitmen yang kuat untuk bersama-sama meningkatkan pemenuhan dan pemajuan HAM di Indonesia.
*) Asisten Deputi Bidang Hukum, HAM, dan Aparatur Negara pada Kedeputian Polhukam
**) Analis Politik, Hukum, dan Keamanan pada Kedeputian Polhukam
Referensi:
[1] Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social, and Cultural Rights) merupakan bagian dari Badan Traktat PBB yang terdiri dari 18 pakar independen yang memiliki karakter moral yang tinggi dan diakui memiliki kompetensi di bidang HAM dari berbagai negara. Anggota Komite dipilih untuk masa bakti 4 (empat) tahun oleh negara pihak dengan mengacu pada Resolusi ECOSOC 1985/17 tanggal 28 Mei 1985.