Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Pasca Ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Agustus 2024
Kategori: Evaluasi Polhukam
Dibaca: 3.768 Kali

Oleh: Nurul Hani Pratiwi, S.H.*)

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pembinaan terhadap Narapidana. Selain untuk pembinaan, Lapas merupakan salah satu bagian dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) penegakan hukum yang penting dalam menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Fungsi penting penegakan hukum tersebut tidak lepas dari dukungan sarana dan prasarana Lapas yang memadai.

Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi Lapas di Indonesia pun terus mengalami perubahan, baik dari segi jumlah, kualitas, maupun tata kelola. Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan kondisi Lapas seringkali dikaitkan dengan berbagai masalah yang terjadi di Lapas, diantaranya kelebihan kapasitas (overkapasitas) tahanan/narapidana di Lapas, fasilitas Lapas yang kurang memadai, kurangnya sipir/petugas Lapas, serta masalah kekerasan dan keamanan di dalam Lapas.

Bahkan, masalah overkapasitas Lapas menjadi persoalan yang terus-menerus ditangani Pemerintah dari tahun ke tahun. Hal ini karena  sebagian besar Lapas di Indonesia tidak mampu menampung banyaknya narapidana yang menjalankan hukuman. Penyebabnya, sistem pemidanaan yang digunakan masih berorientasi pada pemenjaraan (prison-oriented) dalam jangka waktu yang sangat lama dan Aparat Penegak Hukum (APH) masih lebih mengutamakan penjatuhan hukuman penjara sebagai premium remedium (upaya utama) dan bukan sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).

Terjadinya overkapasitas Lapas dapat berdampak pada pengelolaan Lapas, dimana dengan kondisi banyaknya narapidana di Lapas dan kurangnya sipir/petugas Lapas, dapat berpengaruh pada kondisi keamanan, ketertiban, dan keselamatan bagi narapidana dan/atau sipir/petugas Lapas untuk mengontrol aktivitas narapidana.

Melihat fenomena tersebut, Pemerintah terus melakukan langkah-langkah perbaikan Lapas melalui berbagai program dan kebijakan, seperti pembangunan/renovasi Lapas baru, peningkatan kapasitas Lapas, pengalihan sebagian narapidana ke sistem alternatif seperti program asimilasi dan integrasi masyarakat, dan peningkatan jumlah sipir/petugas Lapas. Namun demikian, upaya Pemerintah tersebut dirasa belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pembenahan masalah Lapas.

Sebagai salah satu langkah besar untuk mengatasi permasalahan Lapas secara umum dan overkapasitas Lapas secara khusus, DPR dan Pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) pada tanggal 3 Agustus 2022. UU Pemasyarakatan ini digadang-gadang menjadi salah satu way out atau solusi dalam mengatasi permasalahan Lapas di Indonesia.

Kondisi Umum Lapas di Indonesia

Secara umum, kondisi Lapas di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

  1. Jumlah Lapas
    Jumlah Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2023, terdapat sekitar 526 Lapas dan Rutan yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah kapasitas sebanyak 140.424 orang.[i] Jumlah ini meningkat dari tahun 2019 yang hanya sekitar 492 Lapas dan Rutan dengan jumlah kapasitas sebanyak 130.446 orang. Adapun jumlah penghuni Lapas dan Rutan saat ini adalah sebesar 265.897 orang, sehingga masih mengalami overkapasitas sebesar 89,35%.
  2. Kondisi Fisik
    Kondisi fisik Lapas di Indonesia masih menjadi masalah yang cukup serius. Beberapa Lapas masih memiliki kondisi fisik bangunan yang kurang layak, seperti kelebihan kapasitas, ruangan sel yang lembab, sanitasi yang buruk, dan fasilitas yang tidak memadai. Namun demikian, meskipun kurang layak, Pemerintah terus berupaya memperbaiki kondisi fisik Lapas. Beberapa Lapas baru telah dibangun dengan standar yang lebih baik, seperti Lapas Kelas IIA Lhokseumawe dan Lapas Kelas IIB Pasuruan. Selain itu, sejumlah Lapas juga telah direnovasi dan diperbaiki, seperti Lapas Kelas IIA Sarolangun dan Lapas Narkotika Kelas IIA Pematang Siantar.
  3. Kualitas Pelayanan
    Kualitas pelayanan Lapas di Indonesia juga masih menjadi permasalahan yang harus diatasi. Masalah kelebihan kapasitas dan kurangnya jumlah sipir/petugas seringkali menyebabkan pelayanan yang kurang memadai, termasuk dalam hal pemberian makanan dan pemberian akses kesehatan, serta memengaruhi kualitas pembinaan dan rehabilitasi yang diberikan kepada narapidana. Namun, Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan di Lapas, antara lain melalui peningkatan jumlah sipir/petugas dan perbaikan sistem manajemen.
  4. Program Pembinaan Narapidana
    Program pembinaan narapidana di Lapas semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu. Saat ini, banyak Lapas yang mengembangkan program-program pembinaan yang bertujuan untuk memperbaiki moral dan mental narapidana, serta membekalinya dengan keterampilan yang dapat membantu memulai kehidupan baru setelah bebas.
  5. Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
    Beberapa kasus kekerasan di Lapas juga masih sering terjadi, termasuk penganiayaan fisik antarnarapidana maupun dengan sipir/petugas Lapas. Hal ini tentunya dapat memengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan narapidana, serta dapat merusak reputasi dan kredibilitas pengelolaan Lapas.

Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa masih terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Lapas di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya yang lebih serius dan komprehensif untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan Lapas, serta menjamin hak-hak narapidana demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Arah Kebijakan Pemasyarakatan Pasca UU Nomor 22 Tahun 2022

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang mencabut UU Nomor 12 Tahun 1995 yang sudah berusia 27 tahun. Dengan disahkannya UU Pemasyarakatan yang baru tersebut, paradigma peradilan pidana di Indonesia mulai bergeser dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi pemasyarakatan, yang meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan yang menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Selain perubahan paradigma menuju keadilan restoratif, UU Pemasyarakatan yang baru juga memiliki beberapa perubahan signifikan dibandingkan dengan UU sebelumnya, yaitu:

  1. penguatan posisi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu;
  2. perluasan cakupan dari tujuan sistem pemasyarakatan (tidak hanya meningkatkan kualitas narapidana dan anak binaan tetapi juga memberikan jaminan pelindungan terhadap hak tahanan dan anak);
  3. pembaruan asas dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan;
  4. pengaturan tentang fungsi pemasyarakatan;
  5. penegasan pengaturan mengenai hak dan kewajiban bagi tahanan, anak, dan warga binaan;
  6. pengaturan mengenai penyelenggaraan dan pemberian program pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, serta pelaksanaan perawatan, pengamanan, dan pengamatan;
  7. pengaturan tentang dukungan kegiatan intelijen dalam penyelenggaraan fungsi Pengamanan dan Pengamatan;
  8. pengaturan mengenai kode etik dan kode perilaku Petugas pemasyarakatan serta jaminan pelindungan hak petugas pemasyarakatan untuk mendapatkan pelindungan keamanan dan bantuan hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya;
  9. pengaturan mengenai kewajiban menyediakan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, termasuk sistem teknologi informasi pemasyarakatan;
  10. pengaturan tentang pengawasan terhadap penyelenggaraan fungsi pemasyarakatan; dan
  11. pengaturan mengenai kerja sama dan peran serta masyarakat yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.

UU Pemasyarakatan yang baru juga menetapkan bahwa pelaksanaan pemasyarakatan harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan berkeadilan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengakui pentingnya memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada narapidana, dan mendorong terciptanya Lapas yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi dan reintegrasi sosial, bukan sebagai tempat untuk memperburuk kondisi dan perilaku narapidana.

Sebelum UU Pemasyarakatan disahkan, kondisi Lapas di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagian besar Lapas mengalami overkapasitas, sarana prasarana dan fasilitas kesehatan di Lapas masih terbatas dan tidak memadai, sementara jumlah narapidana yang berada di dalamnya melebihi kapasitas yang tersedia, serta pelaksanaan rehabilitasi dan pemberdayaan narapidana belum maksimal. Dengan ditetapkannya UU Pemasyarakatan, diharapkan kondisi Lapas di Indonesia akan mengalami perbaikan yang signifikan, terutama dalam hal penurunan tingkat overkapasitas Lapas, penerapan rehabilitasi dan pemberdayaan narapidana, serta perlindungan hak asasi manusia.

Namun, perbaikan kondisi Lapas di Indonesia tidak hanya tergantung pada penerapan UU Pemasyarakatan, tetapi juga membutuhkan action Pemerintah, khususnya APH (polisi, jaksa, dan hakim) dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum.

Selain penerapan konsep keadilan restoratif, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk mengurangi overkapasitas lapas adalah dengan mengoptimalisasikan program rehabilitasi dan pascarehabilitasi bagi narapidana narkotika dan obat-obatan terlarang, menunjang pelaksanaan fungsi pemasyarakatan dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, menambah jumlah sipir/petugas yang disertai dengan penambahan kapasitas di bidang pemasyarakatan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, pengetahuan, dan keahlian sipir/petugas Lapas.

Dukungan dan peran masyarakat juga sangat penting dalam meningkatkan upaya untuk memperbaiki kondisi Lapas di Indonesia. Masyarakat harus mendukung program rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana, serta memberikan dukungan moral dan psikologis kepada narapidana yang akan kembali ke masyarakat setelah menjalani masa hukumannya.

Lahirnya UU Pemasyarakatan ini memberikan harapan kiranya usaha-usaha untuk mewujudkan sistem pemasyarakatan yang lebih baik kiranya dapat tercapai.

*) Kepala Subbidang Hukum Publik pada Kedeputian Polhukam

Referensi:

[i] Paparan Menteri Hukum dan HAM dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI tanggal 29 Maret 2023

Evaluasi Polhukam Terbaru