LAPORAN MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP RENCANA PERUMUSAN DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH PEMERINTAH DAERAH

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 20 Mei 2015
Kategori: Evaluasi Polhukam
Dibaca: 50.947 Kali

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini telah memacu semakin intensifnya interaksi antar negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia dengan pihak luar, baik dilakukan oleh Pemerintah, organisasi non pemerintah, swasta dan perseorangan. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negara serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua Undang-Undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri, pelaksanaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional.

Dalam kaitannya dengan hubungan dan kerjasama luar negeri yang dilakukan daerah, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memantapkan landasan hukum serta semakin memberikan kejelasan tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan hubungan luar negeri.

Berkenaan dengan hal tersebut, Bidang Hubungan Internasional, Asisten Deputi Bidang Politik dan Hubungan Internasional, Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melakukan monitoring dan evaluasi ke Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota guna memantau dan mengevaluasi rencana dan implementasi Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Daerah.

B.  Dasar Hukum

Dasar hukum yang digunakan dalam pelaksaan tugas fungsi/kebijakan:

  1. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
  2. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
  3. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; dan
  4. Ketentuan Pasal 10 Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 1 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Kabinet.

C.  Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Pemantauan

Kegiatan Pemantauan dilaksanakan pada bulan Februari2014 hingga Mei 2015oleh pejabat/pegawai di lingkungan Bidang Hubungan Internasional. Rincian waktu dan lokasi pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut:

No.

Waktu

Lokasi

1. Februari 2014 Provinsi Sumatera Utara (Medan)
2. Februari 2014 Provinsi Jawa Barat (Cianjur)
3. Maret 2014 Provinsi Jawa Tengah (Solo)
4. Mei 2014 Provinsi Jawa Barat (Cirebon)
5. Agustus 2014 Provinsi Jawa Timur (Malang)
6. September2014 Provinsi Bali (Denpasar)
7. November 2014 Provinsi Jawa Barat (Bogor)
8 Mei 2015 Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta)

 

BAB II

HASIL KEGIATAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI

 

A.        Perumusan dan Implementasi Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Daerah

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,landasan hukum bagi daerah dan peranan Pemerintah Daerah sebagai salah satu aktor dalam pelaksanaan hubungan internasional menjadi lebih jelas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 1999 yang menyatakan:

“Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara.”

Peluang menyelenggarakan hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Daerah Otonom Kabupaten dan Kota sangat dimungkinkan dan terbuka secara luas, baik yang berbentuk sister’s city atau sister’s province.Hal tersebut terlihat sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 poin 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, disebutkan bahwa:

“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajibandaerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia.”.

Berdasarkan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka kepada Daerah Otonom dapat diberikan wewenang yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur urusan rumah tangganya. Selain itu Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten dan Kota juga diberikan wewenang (dan bilamana perlu) dapat mengadakan hubungan dan kerjasama luar negeri dalam rangka usaha untuk memajukan daerahnya sendiri.

Kewenangan Daerah Otonom tidak mencakup kewenangan dalam bidang kebijakan strategis untuk penyelenggaraan pemerintahan dan hanya melaksanakan kewenangan pemerintah Pusat yang dilimpahkan. Demikian juga dengan hal-hal yang harus diperjanjikan dengan pihak luar negeri oleh daerah adalah dalam batas-batas kewenangan daerah yang bersangkutan.

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 menganut prinsip otonomi seluas-luasnya, maka pemberian kewenangan kepada Daerah Otonom diberikan dengan keleluasaan penuh di mana kepada Daerah Otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Bab III mengenai Klasifikasi Urusan Pemerintahan, dari Pasal 9 sampai dengan Pasal 24. Namun, kewenangan yang dibatasi adalah pada bidang-bidang berikut:

 

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. justisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Secara umum, mekanisme pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2000 yang menentukan agar lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik kementerian maupun non kementerian di tingkat Pusat dan Daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri Luar Negeri. Hal ini berlaku pada seluruh perjanjian internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Kerjasama Luar Negeri atas prakarsa pihak Indonesia dapat diajukan oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Teknis, Lembaga Non Kementerian di Pusat dan Daerah, dan/atau Perwakilan RI di Luar Negeri

Adapun mekanisme hubungan dan kerjasama luar negeri atas prakarsa Pihak Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau pihak-pihak lain (non state actors), adalah:

  1. Pemerintah Daerah sebagai instansi pemrakarsa melakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri serta instansi terkait dan mengajukan usulan program kerjasama yang berisi latar belakang kerjasama, tujuan, sasaran, pertimbangan, potensi daerah, keunggulan komparatif, dan profil pihak asing yang akan menjadi mitra kerjasama;
  2. Pemerintah Daerah sebagai instansi pemrakarsa dapat mengadakan rapat interdep dengan mengundang Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait untuk membicarakan usulan program tersebut;
  3. Koordinasi dapat juga dilakukan melalui komunikasi resmi surat menyurat;
  4. Kementerian Luar Negeri selanjutnya memberikan pertimbangan politis/yuridis Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri sesuai dengan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia;
  5. Kementerian Luar Negeri berdasarkan masukan dari perwakilan Republik Indonesia menyediakan informasi yang diperlukan dalam rangka menjalin kerjasama dengan pihak Asing;
  6. Kementerian Luar Negeri mengkomunikasikan rencana kerjasama dengan perwakilan Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia dan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
  7. Kementerian Luar Negeri memberitahukan hasil koordinasi kerjasama dengan Pihak asing kepada instansi terkait di daerah dan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
  8. Kesepakatan kerjasama antar pihak Asing dan Daerah dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai dengan pertimbangan Kementerian Luar Negeri. Dalam hal diperlukan Surat Kuasa (full powers) dari Menteri Luar Negeri dapat diberikan setelah dipenuhi persyaratan-persyaratan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
  9. Kementerian Luar Negeri ikut serta memantau dan melakukan evaluasi terhadap tindak lanjut dan pelaksanaan kerjasama.

 

B.     Praktik Perumusan dan Implementasi Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Daerah

                Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan diperoleh informasi bahwa belum semua Pemerintah Daerah memiliki, mengimplementasikan, dan mengetahui prosedur pembuatan perjanjian internasional oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2010 tentang Perjanjian Internasional (UU PI) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa Pemerintah Daerah yang belum mengetahui dan mengimplementasikan perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan nasional (UU PI dan UU Pemerintahan Daerah)adalah Pemerintah Kota Cianjur dan Pemerintah Kota Cirebon. Sampai dengan saat ini kedua Pemerintah Kota tersebut belum belum pernah mendapatkan sosialisasi mengenai perumusan dan implementasi perjanjian internasional dari Kementerian terkait (Kemenlu dan Kemendagri).

Namun beberapa Pemerintah Daerah telah mengetahui prosedur perumusan perjanjian internasional menurut UU PI dan UU Pemerintahan Daerah dan mengimplementasikannya, Pemerintah Daearah Provinsi atau Kabupaten/Kota tersebut adalah:

a. Medan, Sumatera Utara

Dalam membuat kerja sama/perjanjian internasional, Pemerintah Kota Medan berpedoman pada UU PI, Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan Permendagri No.3 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan Luar Negeri. Beberapa kerja sama/perjanjian internasional yang telah dimiliki oleh Pemerintah Kota Medan adalah:

a.  MoU between the Government of the City of Medan the Province of North Sumatera Republic of Indonesia and the Government of the City of Penang Island, Penang, Malaysia.

Ruang lingkup bidang kerja sama meliputi program pertukaran kebudayaan,  program  pertukaran pelajar,  program  pertukaran  guru,pertukaran di bidang pemuda dan olahraga. Di bidang pendidikan Pemkot Medan telah mengirimkan 12 orang pelajar Sekolah Menengah Atas untuk mengikuti Program Cabaran Mutiara di Pulau Pinang. Di bidang pariwisata telah diselenggarakan Festival Makanan kota Medan di Pulau Pinang dan Festival Makanan Pulau Pinang di Medan.

b.  MoU between the Government of the City of Medan the Province of North Sumatera Republic of Indonesia and the Government of the City of Ichikawa, Chiba  Prefecture, Japan.

Ruang lingkup bidang kerja sama meliputi program pertukaran pejabat, program pertukaran bidang pendidikan seperti pertukaran pelajar, program bidang ekonomi, kebudayaan, kesenian, dan olahraga.

c.  MoU between the Government of the City of Medan the Province of North Sumatera Republic of Indonesia and the Government of the City of Chengdu, Republic of China.

Ruang lingkup bidang kerja sama meliputi program ekonomi dan perdagangan, bidang pariwisata dan budaya, bidang pendidikan, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,  bidang keuangan.

d.  MoU between the Government of the City of Medan the Province of North Sumatera Republic of Indonesia and the Government of Kwangju Metropolitan City,  Korea.

Ruang lingkup bidang kerja sama meliputibidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, teknologi.

  1. Kerja sama dengan Bandar Raya Ipoh, Negara Bagian Perak, Malaysia dalam rangka kerja sama di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan pariwisata, olah raga, kesehatan, pendidikan, dan bidang lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
  2. Kerja sama dengan Kota Burgas, Republik Bulgaria dalam rangka kerja sama di bidang ekonomi, budaya, pemuda dan olahraga, kesehatan dan pendidikan khususnya pertukaran pelajar.

b. Solo, Jawa Tengah

Beberapa kerja samainternasional yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Solo adalah:

  1. Dalam rangka sister city, yaitu dengan Kota Montana, Republik Bulgaria pada tahun 2007. Kerja sama sister city ini meliputi bidang pembangunan ekonomi daerah, pengelolaan lingkungan dan limbah, sistem dan infrastruktur transportasi, pariwisata dan kebudayaan, pengembangan SDM, dan bidang-bidang lain yang disepakati. Karena banyaknya hambatan, kerja sama ini dihentikan pada tahun 2012.
  2. Kerja sama teknis, yaitu dengan Cities Development Initiative for Asia (CDIA), The  US  Agency  for  International  Development (USAID),  Gesellschaft  fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ), Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia/APEKSI dan United Cities of Local Government Asia Pacific/UCLG ASPAC), dan Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene/IUWASH.
  3. Keanggotaan pada organisasi internasional: UCLG ASPAC, Organization of World Heritage Cities/OWHC, dan International Council for Local Environmental Initiatives/ICLEI.

c. Malang, Jawa Timur

Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur telah mengetahui prosedur perumusan perjanjian internasional sesuai dengan UU PI dan UU Otda, Pemerintah Kota Malang juga pernah melakukan penjajakan pembuatan perjanjian internasional berupa sister city dengan negara lain yaitu Hungaria dan Korea namun proses tersebut gagal karena terkendala masalah biaya yang sangat besar.

d. Bali, Denpasar

Sampai dengan saat ini perjanjian/kerja sama Internasional yang telah dibuat oleh Pemkot Denpasar adalah sebagai berikut:

  1. Perjanjian Kerjasama antara Caritaz Switzerland (Lembaga Non Profit) dengan Departemen Dalam Negeri dalam bentuk Kesepakatan Bersama yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama dengan Gubernur Bali dan dalam bentuk Rencana Kerja Tahunan (RKT) dengan Walikota Denpasar. Kerjasama ini dilaksanakan dengan mengacu pada Permendagri nomor 25 tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam Negeri dengan lembaga asing non pemerintah.

Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk mendukung program pengendalian pencemaran lingkungan di wilayah Kota Denpasar dan sekitarnya dengan mengembangkan sistem dan pengelolaan daur ulang minyak goreng bekas (jelantah) dari sektor pariwisata dan memprosesnya menjadi sumber energi yang dapat diperbaharui (biodiesel).

  1. Adanya Pernyataan Keinginan Kerjasama/Letter of Intent (LoI) antara Pemkot Denpasar dengan UNESCO mengenai Peningkatan Kapasitas Penyandang Disabilitas yang ditandatangani pada tanggal 20 Pebruari 2014 pada saat dilangsungkannya “Pertemuan Tingkat Tinggi Walikota/Bupati untuk Kota Inklusi seluruh Indonesia” yang digagas oleh UNESCO sebagai organisasi internasional yang membidangi ekonomi, pendidikan dan budaya untuk mendukung program PBB mengenai “Promosi Hak-Hak Penyandang Disabilitas”. Kerjasama yang masih dalam tahap LoI ini tentunya diharapkan terus berlanjut dan tahapannya sesuai dengan aturan yang berlaku agar hasil yang diharapkan dari tujuan diadakannya kerjasama yaitu selain untuk meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal juga dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Agar LoI ini dapat berlanjut ke tahap MoU maka masih diperlukan pembahasan Rapat Interkem Kementerian untuk memperoleh full power sebagai salah satu ketentuan yang harus dipenuhi dalam perjanjian luar negeri.

Selain itu beberapa Perjanjian Internasional yang akan dilaksanakan antara Pemkot Denpasar dengan pihak luar negeri yang saat ini sedang dalam tahap rencana penjajagan diantaranya adalah:

  1. Keinginan Pemkot Denpasar mengadakan kerjasama dengan Kota Fukuoka dikarenakan adanya kemiripan karakteristik diantara kedua kota dan rencana kerjasama yang ingin dilaksanakan adalah dalam bidang perikanan khususnya budidaya kerang, tata ruang dan pengelolaan sampah.
  2. Rencana Pemkot Denpasar dengan Kota Kesennuma, Jepang melaksanakan kerjasama people to people dan business to business di bidang perikanan dan tenaga kerja.

e. Bogor, Jawa Barat

Sampai dengan saat ini perjanjian/kerja sama Internasional yang telah dibuat oleh Pemkab Bogor adalah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Kota Nanning Republik China mengenai Kerjasama Sister City, tanggal 12 Desember 2008, masa berlaku 5 (lima) tahun.

Sedangkan beberapa Perjanjian/Kerja Sama Internasional yang akan dilaksanakan antara Pemkab Bogor dengan pihak luar negeri yang saat ini sedang dalam tahap rencana adalah di bidang:

  1. Kebudayaan dan Pariwisata, melalui Promosi Kebudayaan dan Pariwisata untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke kabupaten Bogor;
  2. Perdagangan dan Industri, melalui Pengembangan Sumber Daya Manusia Pelaku UKM dan Transfer Ilmu dan Teknologi, untuk meningkatkan keterampilan SDM Pelaku Usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah;
  3. Pendidikan, melalui pertukaran pelajar, untuk meningkatkan potensi pelajar/keterampilan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar;
  4. Informasi dan Teknologi, melalui program pengembangan SDM Tenaga Ahli IT/Transfer Ilmu dan Teknologi bagi Tenaga IT di Pemkab Bogor;
  5. Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan, melalui Program Pengembangan SDM untuk meningkatkan SDM;
  6. Investasi untuk pengembangan UKM dan potensi yang dimiliki oleh Pemkab Bogor.

                Dalam praktiknya, meskipun sudah banyak Pemerintah Daerah yang mengetahui prosedur perumusan perjanjian internasional berdasarkan UU PI dan UU Pemerintahan Daerah serta telah mengimplementasikannya, namun dalam pelaksanaannyaPemerintah Daerah masih mengalami beberapa hambatan, hambatan-hambatan tersebut adalah:

  1. Rumit dan panjangnya proses kerjasama luar negeri antara lain harus menembus 9 (sembilan) lapisan administrasi: 1). Administrasi tingkat kota, 2). DPRD, 3). Propinsi, 4). Kemendagri, 5). Pusat AKLN, 6). Sekretariat Negara, 7). Proses Visa Konjen, 8). KBRI, 9). Kota yang dituju;
  2. Terbatasnya serta kurangnya danadalam memfasilitasi sesuai Proses Pembuatan MoU/Perjanjian Kerja sama dengan Pihak Luar Negeri;
  3. prosedur yang terlalu berbelit-belit untuk dapat mengirimkan delegasi ke luar negeri;
  4. infrastruktur daerah yang kurang memadai;
  5. perbedaan budaya;
  6. kendala perbedaan bahasa; dan
  7. Kurangnya SDM yang memenuhi syarat dan menguasai bidang hubungan internasional.

f. Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Kota Yogyakarta sampai dengan tahun 2014 menjalin kerjasama perjanjian internasional sister city menggunakan model teknis dan non teknis dengan 9 (sembilan) kota di 6 (enam) negara yaitu Kota Gangbuk-gu, Korea Selatan; Kota Hue, Vietnam; Kota Baalbek, lebanon; Distrik Commewijne, Suriname; Kota Georgetown, Malaysia; Kota Wuhan dan Kota Kunming, RRT; Kota Forshaga dan Kota Vasterbotten, Swedia.Pemerintah Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa kerjasama  sister citymodel non teknis mengalami stagnansi karena keterbatasan anggaran, SDM, jarak, dan kendala bahasa.

Kota Yogyakarta lebih condong menjalin kerjasama teknis berbasis isu/program dalam bentuk studi banding atau adaptasi produk. Kerjasama ini dianggap lebih fokus dan konkrit dibanding kerjasama non teknis. Diantaranya kerjasama Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan Swedia di bidang e-health dengan menyiapkan sistem pecegahan dini demam berdarah dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Pada praktiknya Pemerintah Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa kendala yang dihadapi daerah dalam implementasi kerjasama perjanjian internasional adalah proses birokrasi yang panjang. Tumpang tindih tugas dan fungsi antar Dirjen di Kemdagri menyulitkan daerah terutama dalam hal perijinan dan pengurusan exit permit. Pemerintah Kota Yogyakarta mengusulkan agar pengurusan exit permit dapat dilakukan secara online dalam rangka efektivitas dan efisiensi anggaran.Pemerintah Kota Yogyakarta menyarankan agar daerah diberi keleluasaan dalam menjalin kerjasama perjanjian internasional dengan cara memberi kemudahan pengurusan administrasi. Pemerintah daerah akan tetap mempertimbangkan kebutuhan daerah dan keutuhan NKRI dalam proses perencanaan dan implementasi kerjasama internasional.

 

BAB III

SARAN DAN KEBIJAKAN

         Mengingat belum meratanya informasi terkait pelaksanaan dan prosedur perjanjian internasional serta kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Daearah tersebut, kami memandang perlu diambil beberapa kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut, yaitu:

  1. Sosialisasi dari pemerintah pusat ke daerah mengenai implementasi dan perumusan perjanjian internasional oleh Pemerintah Daerah sangatlah diperlukan. Dengan sosialisasi yang baik dan efektif diharapkan peraturan perundang-undangan yang ada tidak hanya dilaksanakan di tingkat pusat namun juga dapat dilaksanakan di daerah, sehingga tujuan dari pembentukan perundang-undangan tersebut dapat tercapai.
  2. Ke depannya tidak semua bentuk kerja sama harus dengan persetujuan DPRD. DPRD cukup memberikan pertimbangan pada kerja sama/perjanjian yang penting. Persetujuan cukup diberikan dalam rapat interkem yang di dalamnya terdiri dari Kemendagri, Kemenlu, Setneg, dan Setkab.
  3. Dari sisi peraturan, sebaiknya dilakukan revisi atas peraturan turunan UU PI apakah telah sejalan dengan UU PI agar tidak terjadi perbenturan antara substansi peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya.
  4. Ke depannya sister city yang dilakukan pemerintah daerah tidak selalu harus berdasarkan inisiatif pemerintah pusat (tawaran dari kedutaan besar), tetapi juga bisa melalui inisiatif pemerintah daerah untuk kemudian dilakukan penjajagan, penyusunan KAK dan city profile, rakor interkem dengan melibatkan pemda, serta pembuatan LoI, MoU dan  MoA dengan negara mitra kerja sama.
  5. Perlunya pembangunan infrastruktur di daerah yang memadai;
  6. Perlunya pengembangan dan peningkatan SDM di Pemerintah Daerah guna memudahkan proses perumusan perjanjian internasional dengan negara lain;
  7. Penyederhanaan proses administrasi pembuatan perjanjian/kerjasama internasional oleh Pemerintah Daerah;
  8. Perlu adanya suatu unit khusus yang menangani perjanjian internasional di setiap Pemerintah Daerah; dan
  9. Mengingat salah satu penyebab utama kemacetan dan ketidakefektifan implementasi perjanjian internasional oleh Pemerintah Daerah adalah kelemahan dalam pengelolaan kebijakan (policy management) khususnya pelaksanaan fungsi koordinasi, monitoring, dan evaluasi (kormonev), maka pembentukansuatu Tim atau Unit Kerja Khusus yang mengevaluasi efektivitas implementasi perjanjian internasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah diperlukan. Kementerian Luar Negeri dapat membentuk suatu Tim/Kelompok Kerja Antarkementerian yang fokus melaksanakan fungsi monev tersebut guna menghasilkanoutput berupa rekomendasi kebijakan untuk mengevaluasi secara berkala perjanjian-perjanjian internasional yang ada.

Untuk maksud tersebut, Presiden hendaknya menerbitkan/menetapkan Keputusan Presiden tentang “Kelompok Kerja/Tim Monitoring dan Evaluasi Efektifitas Perumusan dan Implementasi Perjanjian Internasional (bilateral)” yang keanggotaannya terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, dan Sekretariat Kabinet. Tugas dan kewenangan Tim, perlu diperluas, termasuk untuk melakukan kajian, monitoring, dan evaluasi terhadap rencana dan implementasi Perjanjian Internasional yang dilakukan K/L. Output tim ini akan berbentuk keputusan/rekomendasi persetujuan/penolakan rencana Perjanjian Internasional (bilateral) oleh K/L atau Pemerintah Daerah dan revisi, perpanjangan dan terminasi implementasi suatu Perjanjian Internasional (bilateral).

Sebagai perbandingan, Tim/Kelompok Kerja semacam in telah dibentuk dan melakanakan tugasnya yaitu Tim/Kelompok Kerja Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Presien Nomor 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional.

 

 

————————-o————————-

Evaluasi Polhukam Terbaru