Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Pilkada dengan 1 (Satu) Pasangan Calon

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 2 Desember 2024
Kategori: Evaluasi
Dibaca: 139 Kali

Disusun oleh: Asisten Deputi Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan segera digelar pada tanggal 27 November 2024. Berdasarkan penetapan hasil rekapitulasi pendaftaran pasangan calon (paslon) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang akan menggelar pilkada serentak dengan total jumlah 103 paslon gubernur/wakil gubernur, 1.169 paslon bupati dan wakil bupati, serta 285 paslon wali kota dan wakil wali kota.

Dari 545 daerah yang menggelar pilkada serentak, 37 (tiga puluh tujuh) daerah diantaranya akan menyelenggarakan pilkada hanya dengan 1 (satu) paslon, terdiri dari 1 (satu) provinsi, 31 (tiga puluh satu) kabupaten, dan 5 (lima) kota. Pasal 54D UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi UU sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pilkada), mengatur bahwa daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan 1 (satu) paslon dapat menetapkan paslon terpilih jika mendapatkan lebih dari 50% suara sah. Jika tidak, maka pilkada akan diulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Melalui putusan MK Nomor: 126/PUU-XXII/2024 mengenai uji materiil Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada, MK memutuskan daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan 1 (satu) paslon namun tidak mendapatkan lebih dari 50% suara sah melakukan pilkada ulang paling lambat 1 (satu) tahun setelah penyelenggaraan pilkada pada tahun 2024 atau paling lambat 27 November 2025. Putusan MK tersebut juga sejalan dengan kesepakatan antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Komisi II DPR yang menyatakan penyelenggaraan pilkada ulang harus dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun setelah pemungutan suara pada pilkada tahun 2024.

Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dalam pilkada tahun 2025 memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pilkada serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan. Hal ini berarti, kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pilkada tahun 2025 tidak akan menjabat selama 5 (lima) tahun penuh. MK dalam pertimbangannya menilai bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari keharusan pilkada ulang serta untuk menjaga kebijakan keserentakan pilkada. Selain itu, Pemerintah diharapkan mengkaji kompensasi bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya kurang dari 5 (lima) tahun sehingga tetap memperoleh haknya sesuai ketentuan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Putusan MK juga diputuskan bentuk surat suara dalam pilkada dengan 1 (satu) paslon yang diatur dalam Pasal 54C ayat (2), sehingga surat suara harus mencantumkan/memuat kolom setuju atau tidak setuju (model plebisit) terhadap paslon yang tersedia. Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya MK memahami proses dan tahapan pencetakan surat suara telah selesai dan pemungutan suara sudah dekat sehingga desain surat suara model plebisit baru akan mulai diberlakukan pada pilkada tahun 2029.

Putusan MK tersebut merupakan jalur konstitusional dalam rangka menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai pilkada. Hal tersebut perlu disikapi oleh Pemerintah dengan memantau daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan 1 (satu) paslon dan mengantisipasi kebutuhan anggaran untuk pelaksanaan pilkada tahun 2025. Selain itu untuk menjaga keserentakan pilkada, Pemerintah perlu mengkaji bentuk kompensasi bagi kepala daerah/kepala daerah yang masa jabatannya kurang dari 5 (lima) tahun, termasuk konsekuensi dari hasil penyelesaian sengketa di MK.

 

Evaluasi Terbaru