Pembentukan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional di Prancis
Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan gambaran terkait dengan sistem hukum dan praktik yang dilakukan Prancis dalam pembentukan dan pengesahan perjanjian internasional (PI). Diharapkan melalui tulisan ini pembaca mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai pembentukan dan pengesahan PI tersebut, serta menjadi bahan dan masukan bagi perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang PI (UU PI) yang saat ini sedang berproses.
Kerangka Hukum dan Pejabat yang Berwenang
Prancis memiliki 2 (dua) landasan hukum yang menjadi dasar pembuatan dan pengesahan PI, yaitu (i) Konstitusi Prancis yang mengatur secara spesifik dalam Bab IV “On Treaties and International Agreement”; dan (ii) Circulaire du 30 mai 1997 relative à l’élaboration et à la conclusion des accords internationaux (Circular of 30 May 1997 on the Preparation and Conclusion of International Agreement). Kedua landasan hukum tersebut di antaranya mengatur mengenai kewenangan Presiden terkait PI, jenis-jenis PI, prosedur negosiasi, penandatanganan, ratifikasi, dan publikasi PI.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan (PUU) di Prancis, sebagai berikut (i) Constitutional Laws; (ii) International Treaties and EU Law; (iii) Laws (Ordinary Laws, Institutional Laws, dan Referendum Laws); (iv) General Principles of Law atau Yurisprudensi; (v) Executive Regulations (Decrees dan Orders); dan (vi) Guidance (Circulars dan Instructions). Berdasarkan hierarki tersebut, terlihat bahwa hukum internasional memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari UU Nasional. Dalam keadaan tertentu, PI bahkan berkedudukan lebih tinggi dari Konstitusi Prancis. Hal ini sebagaimana diatur pada Konstitusi, yaitu (i) apabila sebuah PI tidak kompatibel dengan Konstitusi, maka perlu melakukan amendemen Konstitusi sebelum PI tersebut diratifikasi (Pasal 54); dan (ii) PI yang telah diratifikasi, berkedudukan di atas Acts of Parliament/Laws (Pasal 55).
Penanganan pembuatan PI di Prancis merupakan kewenangan eksklusif dari Presiden Prancis. Beberapa kewenangan Presiden Prancis yang terkait dengan PI, yaitu (i) menegosiasi dan meratifikasi PI; (ii) mengetahui proses negosiasi dan PI yang tidak wajib diratifikasi; (iii) menandatangani PI, termasuk negosiasi yang akan berujung pada perjanjian, meskipun perjanjian tersebut tidak mensyaratkan ratifikasi.
Kewenangan Minister for Europe and Foreign Affairs (Menteri Eropa dan Luar Negeri/Menlu), yaitu (i) menjadi koordinator negosiasi yang dilakukan K/L lain, terutama negosiasi yang dapat berujung pada dibentuknya PI; (ii) mengevaluasi perlu tidaknya negosiasi; (iii) membawa permasalahan perbedaan pendapat antara Menteri mengenai perlu tidaknya membuka negosiasi baru kepada Perdana Menteri untuk diarbitrase; (iv) menyusun konsep awal untuk mengukur apakah ketentuan dalam perjanjian yang akan dinegosiasikan sesuai dengan hukum internasional, PI yang telah diratifikasi oleh Prancis, serta hukum domestik; (v) membuat agenda indikatif yang memuat estimasi waktu pertemuan, durasi negosiasi, dan estimasi tanggal penandatanganan perjanjian; (vi) menandatangani PI, bersama dengan Presiden dan Perdana Menteri; dan (vii) memberikan Express Powers kepada Menteri lain untuk menyerahkan wewenang penandatanganan PI.
Pembuatan PI di Prancis
a. Pra-Negosiasi
1) Dalam rangka menjaga kesatuan dan koherensi kebijakan luar negeri, Menlu berperan sebagai koordinator dalam pembuatan PI. Menteri lain wajib memberitahu Menlu mengenai negosiasi yang sedang dilakukan, terutama negosiasi yang hendak membentuk PI.
2) Apabila terdapat K/L yang mengajukan pembukaan negosiasi pada Kemlu, maka K/L tersebut wajib memberitahukan substansi perjanjian yang ingin dinegosiasikan kepada Kemlu dalam jangka waktu tertentu.
3) Kemlu c.q. Legal Affairs Directorate menyusun konsep awal untuk mengukur apakah ketentuan dalam perjanjian yang akan dinegosiasikan sesuai dengan hukum internasional, PI yang telah diratifikasi oleh Prancis, serta hukum domestik.
4) Menlu akan berkonsultasi dengan seluruh Menteri lainnya yang tertarik untuk terlibat dalam negosiasi. Menteri-menteri tersebut kemudian menentukan mandat negosiator dan komposisi delegasi yang akan bernegosiasi. Mandat dimaksud berisi tentang posisi Prancis yang menjadi pedoman negosiator selama negosiasi.
b. Negosiasi
1) Menlu bersama Menteri yang bertanggung jawab pada negosiasi akan membuat agenda negosiasi indikatif. Pada tahapan negosiasi, agenda tersebut memuat estimasi waktu pertemuan, durasi negosiasi, dan estimasi tanggal penandatanganan perjanjian.
2) Dalam menentukan durasi sebagaimana disebutkan sebelumnya, perlu mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan konsultasi antarkementerian dan memeriksa isu politis, teknis, dan hukum yang mungkin muncul saat negosiasi.
3) Pada tahap negosiasi, seharusnya sudah dapat ditentukan apakah PI yang akan dinegosiasikan membutuhkan adaptasi hukum dan aturan nasional pada implementasinya di dalam negeri.
4) Direktorat terkait pada Kemlu, termasuk Legal Affairs Directorate, wajib mengetahui semua draf PI yang sedang berproses agar dapat menentukan pendapat apakah perjanjian tersebut tepat dari sisi politik maupun hukum, sebelum negosiasi selesai.
5) Seluruh Kementerian yang terkait wajib menyepakati substansi dan implementasi PI yang sedang dinegosiasikan. Apabila terdapat perbedaan pendapat antarkementerian, maka Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk melakukan penyelesaian perselisihan perbedaan pendapat tersebut.
c. Penandatanganan PI
1) Secara umum, aktor yang memiliki wewenang untuk menandatangani PI adalah Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri. Berdasarkan Pasal 19 Konstitusi Prancis, tanda tangan Presiden pada PI wajib menyertakan tanda tangan dari Perdana Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab (dalam hal ini Menlu).
2) Menteri selain Menlu dapat memohon Express Powers dari Menlu c.q. Legal Affairs Directorate guna mendapatkan wewenang menandatangani PI.
3) Menteri yang memohon Express Powers melampirkan dokumen sebagai berikut (i) catatan yang menyebutkan identitas penandatangan; (ii) catatan yang menjelaskan analisis perjanjian, kemungkinan perjanjian berlaku hanya dengan penandatanganan, dan alasan mengapa perjanjian tidak perlu disampaikan ke Parlemen; dan (iii) teks final perjanjian, atau teks terbaru perjanjian, beserta amendemen yang mungkin dilakukan.
4) Express Powers hanya berlaku untuk satu perjanjian tertentu, bukan merupakan pemberian wewenang penandatanganan secara umum. Apabila penandatanganan tidak jadi dilakukan, maka Menteri yang memohon Express Powers wajib mengembalikan Express Powers dimaksud beserta alasan mengapa perjanjian batal ditandatangani, kepada Menteri Luar Negeri.
d. Prosedur Ratifikasi PI di Prancis
1) Pasal 53 Konstitusi Prancis mengatur jenis PI yang wajib diratifikasi menggunakan act of parliament. Perjanjian tersebut adalah (i) perjanjian perdamaian; (ii) perjanjian dagang; (iii) perjanjian yang berkenaan dengan organisasi internasional; (iv) perjanjian yang memengaruhi keuangan negara; (v) perjanjian dengan ketentuan yang berpengaruh pada konstitusi; (vi) perjanjian yang berkenaan dengan status seseorang; dan (vii) perjanjian yang mengatur mengenai perubahan wilayah.
2) Apabila PI masuk ke dalam kategori sebagaimana tercantum pada Pasal 53 Konstitusi, maka Parlemen perlu mengeluarkan act of parliament sebagai bentuk persetujuan terhadap proses ratifikasi atau approval dari PI dimaksud.
3) Apabila PI tidak masuk ke dalam kategori sebagaimana tercantum pada Pasal 53 Konstitusi, maka PI dapat diratifikasi oleh Presiden atau disetujui oleh Menteri Luar Negeri tanpa perlu persetujuan dari Parlemen.
4) Apabila sebuah PI tidak kompatibel dengan Konstitusi, maka perlu melakukan amendemen Konstitusi sebelum PI tersebut diratifikasi (Pasal 54 Konstitusi).
5) Legal Affairs Directorate, Minister for Europe and Foreign Affairs bertanggung jawab untuk membuat draf perjanjian dan instrument ratifikasi, berkoordinasi dengan Kementerian-Kementerian yang terkait dengan substansi ratifikasi. Selain itu, Legal Affairs Directorate juga berkoordinasi dengan Government General Secretariat yang bertanggung jawab untuk menyiapkan dokumen legal yang akan disampaikan kepada Parlemen.
6) Dalam hal Parlemen terlibat dalam proses ratifikasi PI, Parlemen akan melakukan text reading dan review teks final PI, tanpa memiliki wewenang untuk mengubah teks final PI tersebut. Apabila terdapat perbedaan pandangan antara Pemerintah dengan Parlemen, maka Parlemen boleh menunda proses ratifikasi PI.
7) Waktu yang dibutuhkan bagi Parlemen Prancis untuk memproses ratifikasi PI adalah 20 (dua puluh) bulan, dimulai dari penyampaian proposal hingga dikeluarkannya produk hukum otorisasi ratifikasi. Akan tetapi, terdapat pula prosedur simplifikasi dan akselerasi, yang mana Pemerintah dapat hanya menyampaikan pertanyaan pada Parlemen untuk proses adopsi PI.
8) Parlemen Prancis bersifat Bikameral, terdiri dari Senat dan Majelis Nasional. Berbeda dengan Indonesia yang mana hanya DPR yang terlibat dalam legislasi, kedua kamar di Parlemen Prancis tersebut terlibat dalam proses ratifikasi PI.
9) Secara opsional, kesesuaian PI dengan konstitusi dapat diusulkan oleh Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen untuk diuji oleh Dewan Konstitusional (Constitutional Council) (Pasal 61 Konstitusi Prancis). Akan tetapi, pengujian dimaksud hanya dapat dilakukan sebelum PI diratifikasi. Apabila PI telah diratifikasi, maka Dewan Konstitusional tidak dapat melakukan pengujian.
Pemberlakuan dan Implementasi PI di Prancis
a. Prancis tidak memiliki aturan dalam negeri yang khusus mengatur mengenai pemberlakuan dan implementasi PI. Vienna Convention of 1969 on the Law of Treaties menjadi dasar aturan mengenai pemberlakuan dan implementasi PI di Prancis, yaitu “A treaty enters into force in such manner and upon such date as it may provide or as negotiating States may agree” atau “as soon as consent to be bound by the treaty has been established for all negotiating States” (Pasal 24).
b. Government-to-government agreements akan mulai berlaku setelah salah satu pihak menyampaikan instrumen persetujuan kepada pihak lainnya. State-to-state agreements mulai berlaku setelah pertukaran instrumen ratifikasi.
c. Untuk perjanjian multilateral, mulai berlakunya suatu perjanjian biasanya diatur pada final provision. Terdapat 2 (dua) jenis pengaturan yang biasanya digunakan, yaitu (i) perjanjian mulai berlaku setelah instrumen ratifikasi telah diserahkan sesuai jumlah yang telah ditentukan; atau (ii) PI mulai berlaku setelah jangka waktu tertentu setelah instrumen ratifikasi diserahkan.
d. PI yang telah diratifikasi berlaku dan diimplementasi secara langsung tanpa memerlukan implementing regulation. Pengaturan yang terdapat dalam PI secara langsung menjadi aturan yang berlaku di dalam negeri.
Pengakhiran PI di Prancis
a. Hukum nasional Prancis tidak mensyaratkan tindakan khusus mengenai peninjauan, evaluasi, dan penghentian apabila PI tidak memuat klausa yang mengatur mengenai hal tersebut.
b. Prancis juga tidak memiliki aturan hukum nasional mengenai penghentian PI, tetapi tampaknya mengacu pada Vienna Convention of 1969 on the Law of Treaties. Terdapat 4 (empat) hal yang dapat menghentikan dan menunda PI, yaitu (i) pembuatan PI baru dengan substansi yang sama (Pasal 59); (ii) terjadinya pelanggaran ketentuan (Pasal 60); (iii) ketidakmungkinan melanjutkan isi PI (Pasal 61); dan (iv) adanya perubahan kondisi fundamental (Pasal 62).
Posisi Uni Eropa dalam Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional di Prancis
a. Produk Hukum Uni Eropa (UE) dan ratifikasi produk hukum UE merupakan proses yang kompleks. Proses legislasi UE berbeda dengan proses legislasi nasional. Dalam konteks domestik Prancis, terdapat aturan yang merupakan turunan dari legislasi UE, bukan turunan dari sebuah PI.
b. Negara anggota UE dapat memulai negosiasi perjanjian yang masuk dalam kompetensinya tanpa memerlukan otorisasi dari UE terlebih dahulu. Otorisasi diperlukan apabila negara anggota bermaksud untuk menegosiasikan perjanjian yang kompetensinya merupakan exclusive competence dari UE.
c. Sebagai contoh, Prancis pernah menegosiasikan Amity Treaty dengan Spanyol dan Italia. Mengingat substansi perjanjian tersebut merupakan isu teknis guna mempromosikan persahabatan antara dua negara yang merupakan kompetensi dari negara anggota, maka proses negosiasinya tidak memerlukan otorisasi dari UE.
d. Ketika UE melakukan negosiasi PI yang berada dalam ruang lingkup kompetensinya, negara-negara anggota UE memberikan mandat negosiasi melalui Council of the European Union kepada European Commission. European Commission akan secara berkala melaporkan proses negosiasi PI kepada negara-negara anggota UE.
e. Terdapat perbedaan kompetensi dalam hal pembuatan PI berdasarkan aturan UE. Kompetensi tersebut terbagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu (i) Exclusive Competence of the EU, seperti contohnya perjanjian dagang; (ii) Exclusive Competence of the EU Member States; dan (iii) Shared Competence between EU and its Member States.
f. Pembagian kompetensi tersebut dicantumkan secara transparan pada Pasal 2 Treaty on the Functioning of the European Union. Berdasarkan pasal tersebut, yang termasuk dalam kompetensi UE adalah (i) trade; (ii) competition policy; (iii) customs union; (iv) monetary policy; dan (v) conservation of marine biological resources.
g. Sehubungan dengan hal tersebut, sebelum memulai proses negosiasi PI, perlu menentukan apakah substansi perjanjian masuk ke dalam kompetensi UE, kompetensi negara anggota, atau kompetensi bersama.
h. Dalam hal terdapat substansi perjanjian yang masuk ke dalam kompetensi UE namun dirasa dapat dinegosiasikan secara nasional, maka negara-negara anggota UE dapat meminta otorisasi dari Komisi Eropa untuk menegosiasikan perjanjian tersebut secara nasional. Hal tersebut umum terjadi.
Catatan dan Rekomendasi
a. Secara legal formal, Prancis memiliki prosedur dan jangka waktu yang rigid dalam melakukan pembuatan dan ratifikasi PI. Selanjutnya, Kemlu Prancis memiliki peran yang besar khususnya dalam proses pra-negosiasi dan negosiasi PI. Kemlu Prancis melakukan legal scrubbing dan scrutinize seluruh draf PI yang sedang dinegosiasi, sehingga Pemerintah Prancis tidak lagi mempertanyakan apakah suatu PI yang telah ditandatangani tepat secara politik, hukum, dan kepentingan nasional sehingga dapat dilakukan ratifikasi.
b. Peran sentral Kemlu Prancis dalam melaksanakan hubungan luar negeri serta melakukan pembuatan dan pengesahan PI didukung dengan kapabilitas SDM (legal advisor) yang mumpuni, pembagian tugas, fungsi, serta tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga tidak lagi terdapat permasalahan koordinasi di antara K/L teknis dan Kemlu.
c. Kemlu Indonesia juga memiliki peran mirip dengan Kemlu Prancis. Namun, masih perlu penguatan koordinasi dan sinergitas di antara K/L teknis dengan Kemlu. Meskipun Kemlu memiliki kewenangan sentral terkait PI, tetapi K/L teknis perlu dilibatkan dalam koordinasi pembahasan PI, utamanya saat pra-negosiasi dan negosiasi mengingat K/L teknis lebih menguasai dan memahami substansi dan kebijakan terkait PI teknis. Selain itu, diperlukan penguatan kapasitas SDM di Kemlu Indonesia yang memiliki tugas besar dalam mengawal kepentingan nasional guna mengantisipasi ketidaksesuaian antara PI yang telah ditandatangani dengan kepentingan nasional.
d. Mekanisme constitutional preview (pengujian konstitusional sebelum ratifikasi dilakukan) yang saat ini dimiliki oleh Prancis c.q Dewan Konstitusional Prancis, dapat dipertimbangkan untuk diadopsi oleh Pemerintah Indonesia.
e. Salah satu di antara 7 (tujuh) jenis PI yang yang wajib diratifikasi dengan act of parliament di Prancis adalah perjanjian yang memengaruhi keuangan negara. Hal ini juga serupa dengan Indonesia, yang mana saat ini ratifikasi PI perlu mempertimbangkan aspek beban keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Perjanjian akan memerlukan ratifikasi dengan UU apabila mengandung aspek “memengaruhi keuangan negara”.
Sumber: Focus Group Discussion Best Practices on Establishing and Ratifying Treaties from the Perspective of French Republic, Sekretariat Kabinet, 27 Februari 2023.
———————————–