Upaya Mencari Pola Penanganan Masalah Tanah Aset Negara
Dalam rangka mencari solusi penyelesaian atas permasalahan tanah aset negara, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) “Penyamaan Persepsi Penyelesaian Masalah Tanah Aset Negara Ditinjau dari Aspek Administrasi dan Hukum” pada Senin, 21 November 2022, di Hotel Marriott Yogyakarta. Penyelenggaraan FGD tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya laporan pengaduan masyarakat yang menyampaikan permasalahan mengenai tanah aset negara yang dikelola oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), yang secara garis besar terbagi ke dalam 5 kelompok masalah pertanahan, yaitu:
1. tanah pemerintah yang telah memiliki hak atas tanah, tetapi tanah tersebut dikuasai tanpa hak oleh masyarakat;
2. tanah pemerintah yang diperoleh dari masa lalu (Berita Acara Timbang Terima, penguasaan tanah oleh penjajah, dan lain-lain) yang dikuasai secara tanpa hak oleh masyarakat;
3. tanah pemerintah yang bersertipikat yang dikuasai secara fisik oleh masyarakat yang juga memiliki sertipikat kepemilikan; dan
4. tanah pemerintah yang berasal dari perolehan masa lalu ataupun yang telah bersertipikat tetapi digunakan oleh pemda dan terjadi pencatatan ganda dalam barang milik negara/daerah (BMN/D) atau tanah BUMN yang telah bersertipikat dan telah dicatat sebagai aset BUMN tetapi digunakan oleh pemerintah, organisasi sosial, atau masyarakat; dan
5. tanah pemerintah yang telah bersertipikat dan dikuasai oleh pemerintah tetapi diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat/tanah adat.
FGD tersebut dibuka oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U., M.I.P., Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), dan dihadiri oleh para tamu undangan dari kementerian, lembaga, pemda, dan akademisi. Dalam FGD tersebut dihadirkan 4 orang narasumber, yaitu Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., MCL., MPA. (Guru Besar FH-UGM); Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., MS., CN. (Guru Besar FH-USU); I Made Daging, A.Ptnh., M.H. (Direktur Pengaturan Tanah Pemerintah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional); dan Encep Sudarwan (Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan).
Sebagai pemapar pertama, narasumber Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., MS., CN. mengemukakan permasalahan tanah aset negara yang spesifik terjadi di Sumatera Utara. Menurutnya, permasalahan tanah aset negara di Sumatera Utara terbagi menjadi 3 bagian besar, yaitu tanah pemerintah dikuasai tanpa hak oleh masyarakat (Kasus PTPN II); tanah pemerintah yang tidak dilakukan konversi (gedung-gedung lama di Jl. Ahmad Yani, Medan); dan tanah pemerintah yang telah diruilslag tetapi sampai sekarang raib/tidak jelas terdaftar sebagai aset negara atau karena lokasi tersebut tidak dikuasai pemerintah lagi. Penyebab umum terjadinya permasalahan aset negara di wilayah Sumatera Utara adalah karena pembiaran yang terlalu lama oleh pemerintah, padahal aset negara tersebut dapat diajukan untuk menjadi objek land bank. Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk membuat pendirian hak di atas hak (hak baru di atas hak lama); melakukan perubahan dalam pendaftaran tanah dari rechtcadaster menjadi multipurpose cadaster; mewujudkan dana pertanggungan tanah (title insurance); dan mengusulkan BMN untuk menjadi objek land bank.
Masih terkait dengan materi pertama, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., MCL., MPA. juga mengemukakan bahwa secara umum permasalahan pendudukan tanah aset negara oleh masyarakat merupakan manifestasi dari ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang masih harus diupayakan jalan keluarnya oleh pemerintah dalam rangka memenuhi keadilan sosial sesuai amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurutnya terdapat beberapa jalan keluar yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu melakukan musyawarah antara pemilik aset dengan masyarakat (termasuk mengakomodasi itikad baik pemilik aset untuk menyelesaikan masalahnya dengan masyarakat, baik melalui pelepasan sebagian bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat atau memberikan “tali asih”, dalam suatu peraturan perundang-undangan), menyelesaikan konflik agraria di luar kawasan hutan melalui pembentukan Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, mempercepat pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat, dan menyelesaikan permasalahan tumpang-tindih sertipikat dengan pihak ketiga melalui jalur pengadilan (jika tidak disebabkan karena cacat administratif).
Selain pandangan dari akademisi tersebut, penyelesaian permasalahan tanah aset negara juga memerlukan keselarasan pemahaman dari pemerintah. Dalam FGD tersebut, I Made Daging, A.Ptnh., M.H. menyampaikan bahwa persepsi yang harus dibangun dalam penyelesaian masalah tanah aset negara adalah bahwa penyelesaiannya harus diselesaikan berdasarkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksudnya, apabila BMN/D dikuasai pihak lain atau berada dalam sengketa, maka Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang harus menempuh seluruh opsi yang tersedia untuk mengamankan aset, termasuk di dalamnya opsi untuk melakukan upaya hukum ke pengadilan. Di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan didasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yaitu bahwa dalam hal hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibatalkan oleh pengadilan merupakan pelaksanaan amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri, maka:
a. dalam perkara yang menempatkan instansi pengguna aset dan instansi pengelola aset sebagai pihak dalam perkara maka Surat Keputusan Pembatalan hak atas tanah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan dapat ditetapkan tanpa menunggu proses penghapusan aset/aktiva tetap dari instansi yang bersangkutan, akan tetapi penetapan haknya setelah ada penghapusan aset jika sudah tercatat sebagai aset atau persetujuan pelepasan aset jika belum tercatat dalam daftar aset; dan
b. dalam hal amar putusannya menyatakan batal hak atas tanah atau sertipikat tanah instansi pemerintah tanpa melibatkan pengguna aset dan pengelola aset sebagai pihak dalam perkara maka pembatalan hak atas tanah atau sertipikat tanah dilakukan setelah penghapusan aset dari pengguna dan/atau persetujuan pengelola aset.
Sementara itu, Encep Sudarwan menyampaikan bahwa dalam melakukan pengelolaan BMN/D, terdapat prinsip umum yang harus dipatuhi oleh Pengelola dan Pengguna Barang, yaitu:
a. Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan BMN yang berada dalam penguasaan dengan sebaik-baiknya;
b. BMN yang berupa tanah yang dikuasai pemerintah pusat harus disertipikatkan atas nama Pemerintah RI; dan
c. tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan wajib diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara.
Di samping itu, Pengguna Barang juga harus melakukan pengamanan administrasi, fisik, dan hukum terhadap BMN/D yang dikelolanya, sehingga jika terjadi permasalahan aset, kementerian/lembaga atau pemda wajib mempertahankannya dengan didasarkan pada pertimbangan, yaitu:
a. adanya kewajiban untuk mempertahankan BMN/D (tanggung jawab pengelola dan pengguna barang, merupakan bagian keuangan negara dan dicatat dalam LKPP, potensi kerugian negara, dan aset tersebut masih dipergunakan untuk tugas dan fungsi pemerintah);
b. BMN/D diperoleh secara sah dan berdasar hukum (sertipikat diterbitkan berdasarkan atas hak penguasaan dan bukti kepemilikan, klaim dari pihak ketiga tidak berdasar hukum, ditemukan adanya bukti baru atau bukti pihak ketiga palsu sehingga memerlukan proses hukum, putusan pengadilan tidak membatalkan keperdataan negara terhadap kepemilikan aset, dan legal standing pihak yang mengklaim bukan pihak yang berhak atas aset/tidak memiliki hubungan hukum dengan aset); dan
c. jika terdapat BMN/D yang bermasalah (belum bersertipikat, dikuasai pihak lain, dan/atau dalam sengketa), maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara penertiban pengamanan BMN berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2021 tentang Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara.
(Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Sekretariat Kabinet)
—–o0o—–